“Iya le, kasihan itu lek man….sudah capek-capek cari duit ke Jakarta, malah istrinya di kampung balasnya seperti itu.”.
Kata-kata itu masih terekam jelas di memoryku, kata-kata ibu sewaktu aku telepon beberapa hari yang lalu.., menyayangkan akhlak seorang istri yang ditinggal oleh suaminya mencari nafkah jauh di luar kota….,Hati ini pun turut pedih mendengar itu semua…
Di desa, terutama di Jawa Tengah memang tidak sedikit mereka yang bekerja merantau di luar kota atau ke Jakarta. Termasuk di desaku, banyak para suami meninggalkan istri untuk bekerja di Jakarta, kota yang sampai saat ini masih menjanjikan, walaupun sebenarnya dari sisi kenyamanan sudah bisa dikatakan tidak layak.
Di antara yang merantau tersebut, ada yang menjadi sopir, pedagang sayur, pembantu, karyawan dan sebagainya. Alasan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah alasan utama dan bisa dikatakan tepat. Karena memang, jika mengandalkan hasil pertanian saat ini hanya cukup untuk kebutuhan makan. Padahal dituntut anak harus sekolah dan berbagai kebutuhan lainnya. Hal ini tak aneh dan sangat memperihatinkan nasib para petani, termasuk di desaku. Betapa tidak, saat musim menanam tiba, harga pupuk dan bibit sangat mahal harganya, namun ketika musim panen tiba, hasil panen seperti tidak ada harganya sama sekali, namun harus bagaimana lagi, hal itu terpaksa harus diterima petani karena memang mereka bisa mendapat uang dari hasil panennya tersebut. Alhamdulillah juga, mereka tidak mengenal apa itu HPP (Harga Pokok Produksi), mereka tetap bersemangat menggarap ladang dan sawahnya dengan harapan subur dan bisa dipanen di beberapa bulan ke depan.
Kembali ke masalah sebagian warga yang merantau, ternyata ada satu dampak negatif yang muncul. Dari sekian istri yang ditinggal ternyata kebanyakan “menyeleweng”. Yang lebih parah lagi, penyelewengan itu akhirnya malah menjadi kebiasaan dan candu, sehingga ia bisa dicap sebagai “wanita murahan”. Dan saat ini, kejadian serupa menimpa pada istri dari kawan bekerjaku dulu. Sakit hati ini sebenarnya mendengar kabar, karena betapa aku tahu temanku itu sangat rajin bekerja di Jakarta dan tidak mau yang “neko-neko”, ia tulus…tapi ternyata “susunya dibalas air comberan oleh istrinya”. Kurasakan saat ini ia dalam kebingungan, antara percaya dan tidak percaya, antara kesal dengan istrinya dan sayang pada satu anaknya yang sudah besar. Aku rasa ini merupakan sebuah dilema bagi beberapa suami yang menimpa kejadian serupa. Walaupun ada satu suami yang langsung menceraikan istrinya ketika mendapati “ketidaksetiaan istrinya”.
Dari kabar desaku tersebut di atas, aku mencoba melontarkan beberapa hal yang mungkin ada manfaatnya buat kita semua :
1. Sedikit memaklumi
Betapapun prihatin dan sedih melihat gejala sosial yang teramat buruk tersebut, namun saya sedikit memaklumi perasaan wanita yang ditinggal oleh suaminya. Ia pasti sangat merindukan belaian kasih dari suaminya, ia pasti merasa kehilangan sebuah sandaran hati dalam setiap masalah yang muncul di setiap harinya, ia akan kehilangan seorang pengontrol akhlaknya juga. Itu sedikit pemakluman dari sisi manusiawi…..
2.Suami, harusnya tidak menikmati
Niat awal untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, harusnya menjadikan semangat bahwa perginya suami ke luar kota adalah karena darurat, sebab harus meninggalkan anak dan istri tercinta. Sehingga akan ada sebuah rencana atau planning ke depan, bahwa suatu saat akan membuat usaha di desa, misalnya membuka usaha service HP, usaha dagang dan sebagainya. Menurut saya, yang menjadi sebuah kesalahan adalah ketika keadaan darurat tersebut kemudian malah menjadi kenikmatan bagi para suami untuk mencari uang di tempat yang jauh dari orang-orang tercintanya itu, padahal jelas, tanggung jawab sebagai seorang suami tentu bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan materi. Harus menjadi pertimbangan misalnya, di kota mendapat income dua juta per bulan dan kalau membuka usaha di kampung mendapat setengahnya, namun bisa dekat dengan anak dan istri. Karena sekali lagi, kebahagiaan dan kebutuhan hakiki tentu tidak semata-mata semua atas dasar dari materi walaupun memang harus diakui semua hal membutuhkan uang, namun tentu uang bukanlah segala-galanya bukan ?
3.Pemerintah ikut andil ?
Menurut saya ya, sebab api dari segala asap ini adalah ketidakmerataan kesejahteraan bagi kaum petani pada khususnya. Petani diangkat hanya pada saat menjelang pemilu, padahal mereka adalah pejuang bagi setiap energi yang menggerakkan kinerja Negara ini. Namun yang teramat menyakitkan lagi, adanya beras impor dan berbagai kebijakan-kebijakan yang lain yang belum menyenangkan bagi para petani….
4.Tetangganya kemana?
Bagi saya sebagai tetangga harus juga menjadi benteng bagi setiap tindak kejahatan sosial seperti kisah di atas. Namun ketika sikap individualisme yang semakin menggejala hingga ke pelosok desa sana, akhirnya inilah yang terjadi
5.Iman itu bentengnya…
Namun, dari keempat point di atas, bagi saya iman adalah solusinya. Karena betapa jika kita rasakan, ia bagaikan permata yang sangat sulit untuk ditemukan, ia bagai cahaya yang padam, ia bagaikan mata air di tengah hamparan luas gurun pasir…jika suami beriman, jika istri beriman, jika tetangga beriman dan jika pemerintah pun beriman…., maka syetan pun akan merasa kewalahan.
Demikian sedikit curahan rasa yang dapat saya sampaikan sebagai anak desa. Tinggal di antara kita jika memang menjadi seorang suami, menjadi seorang istri, menjadi seorang tetangga dan menjadi pemerintah harusnya memposisikan diri pada posisi yang tepat…jika kita mengharap selamat. Selamat dalam perjalanan dan selamat dari permintaan pertanggungjawaban dariNya. Wallahu ‘alam….