“Mi, maaf aku pulang agak malam, masih ada kerjaan dari bos, doa’kan hati ini tidak larut dalam rutinitas duniawi ini”, seorang suami mengirimkan sms kepada istrinya, sementara adzan Magrib mulai menggema di berbagai penjuru.
“Iya bi, insyaAllah kelelahanmu adalah jihad juga buat anak dan istrimu?” balas sang istri.
Dari percakapan melalui sms di atas, nampak sebuah kegelisahan seorang suami karena kesibukannya. Ia begitu khawatir akan larut dalam rutinitas sehari-hari, lalu istrinya dengan jawaban menghibur mengatakan bahwa suaminya adalah seorang mujahid bagi istri dan anaknya di rumah.
Namun benarkah demikian ? Mari kita bahas sejenak sepotong kisah ini.
Jika kita boleh menilai, ungkapan kekhawatiran oleh suami kepada istrinya tersebut di atas adalah buah dari reaksi keimanan. Keimanan yang benar, yang selalu menimbang sisi kehidupan akhirat di sela-sela kesibukan duniawinya. Sementara jawaban klise seorang istri yang bermaksud menghibur tersebut sebenarnya jawaban yang mencoba melemahkan reaksi keimanan pada suaminya.
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama kita yang hidup di kota-kota besar, sebagai suami kita akan dituntut bekerja keras untuk menafkahi anak istri, karena berbagai tuntutan kebutuhan yang sangat tinggi. Namun sayangnya, rutinitas yang awalnya semata-mata untuk mencukupi kebutuhan, akhirnya menjadi rutinitas yang melarutkan dan melalaikan bahkan menjadi dinikmati. Sehingga, ungkapan dari seorang suami seperti kisah di atas merupakan hal yang sangat langka pada saat ini. Karena betapa banyak dari kita sebagai suami justru malah bangga dengan kesibukan mencari nafkah hingga larut malam. Karena betapa banyak dari kita sebagai suami justru kemudian menjadi bangga dengan kesibukan mencari nafkah hingga keluar kota meninggalkan anak istrinya. Sementara kita lupa, bahwa ada hak untuk anak istrinya bukanlah materi semata, melainkan ada ilmu dan nasib mereka di akhirat kelak yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah sebagai Pemberi Amanah. Dan akhirnya karena sangat menikmati berbagai rutinitas itu kita bagaikan kumpulan robot-robot yang cinta dunia, padahal Rasulullah pernah mengingatkan dalam sebuah hadistnya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mush'ab telah menceritakan kepada kami Al Auza'i dari Az Zuhri dari Ubaidullah dari Ibnu Abbas ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melewati seekor bangkai kambing yang dibuang oleh pemiliknya, lalu beliau bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh dunia itu lebih hina disisi Allah dari bangkai ini bagi pemiliknya.
(AHMAD - 2890) : "
Begitu hinanya hakikat dunia yang digambarkan oleh Rasulullah, namun betapa sedikit di antara kita yang mengetahui, memahami dan mengamalkannya.
Sebagai seorang mukmin, bukan berarti kita lantas meninggalkan pekerjaan kita sebagai tanggung jawab menjadi kepala rumah tangga. Namun hendaknya kita tidak menjadi larut dan menikmati bahkan lupa akan hakikat penciptaan kita di dunia, yakni beribadah. Menjadi seorang istri yang baik, kita hendaknya juga sering mengingatkan suami, bahwa di sana ada Qur’an yang harus selalu dibaca, di sana ada berbagai ilmu yang harus digali, di sana ada tak terhitung jenis ibadah dalam rangka taqarrub ilallah yang seharusnya kita perhatikan kualitas dan kuantitasnya setiap hari. Dan juga sebagai atasan atau pimpinan perusahaan, kita hendaknya tak sempit membuat target-target duniawi semata, sebab di sana ada kematian, di sana ada ending kehidupan yang kekal yakni Syurga dan Neraka yang harus lebih ditargetkan, dan Rasulullah mengingatkan:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Andai anak Adam memiliki dua lembah emas, nicaya ia menginginkan lembah lagi dan tidak ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat."
(TIRMIDZI - 2259)
Target dunia takkan ada habisnya hingga manusia mati, begitu kira-kira pesan Rasulullah. Sehingga, jika sebagai pimpinan perusahaan paham, sebagai karyawan mengerti dan sebagai seorang istri juga mengetahui akan hakikat dunia. Maka kita akan meletakkan dunia ini tepat pada tempatnya yaitu hanya sebatas genggaman bukan memasukkannya dalam hati. Karena begitulah seharusnya kita sebagai mukmin, yang jelas harus berbeda obsesi dengan orang kafir. Jangan sampai kita mengatakan setiap hari bekerja atas nama cinta anak dan istri, padahal sebenarnya semua itu atas nama cinta duniawi.
Wallahu ‘alam.