"SELAMAT DATANG DI RUANG SEDERHANA INI..........
ruang tempat seorang anak desa menulis, merangkai &
ingin meraih impian...yang bukan sekadar mimpi....
"

"Mujahid adalah tanda semangat..
bukan semata pedang yang terangkat...,
Mujahid adalah tanda cita dan cinta yang suci...
dan bukan sebuah menara tinggi duniawi..."

Sabtu, 29 Maret 2014

SAYA BUKAN GOLPUT TAPI MEMPERTAHANKAN AQIDAH (1)




Sebentar lagi di negara yang kita cintai ini akan mengadakan hajat besar dalam bidang politik, yaitu pemilu. Siapa yang tidak dikenal dengan pemilu? Saat masih kecil kita senang sekali melihat ramainya konvoi kendaraan rombongan ketika mengadakan kampanye...(eh itu pengalaman saya pribadi ya.., ketika di kampung).

Jadi pemilu memang bukan barang asing lagi bagi kita. Apalagi pemerintah melalui media-media yang ada selalu menyerukan agar setiap warga Negara menggunakan hak pilihnya untuk menyukseskan jalannya “pesta rakyat” itu. Dengan alasan atau tujuan agar rakyat bisa menentukan sendiri nasib dan arah bangsa ini ke masa depan yang lebih cemerlang (wow..kayak iklan deterjen yaa...).

Baik...to the point saja..., tulisan ini saya tulis untuk menjawab beberapa pertanyaan dari saudara-saudara saya yang saya cintai hanya karena Alloh...ketika saya menyatakan diri bahwa Pemilu itu Syirik...(hmm....serem bener sih...masak pemilu syirik?)...

Berikut sedikit ulasannya ya...., diminum dulu kopi atau tehnya ya...hehe.

Arti Pemilu atau Demokrasi
Dilihat dari bahasanya demokrasi berasal dari dua kata yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos adalah kekuasaan atau kedaulatan. Jadi artinya rakyat diberikan hak penuh untuk menentukan mengatur jalannya kehidupan Negara. Makanya ada pengertian singkat bahwa demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dan dikarenakan jumlah rakyat itu sangat banyak maka mereka mewakilkan suara atau kehendak mereka melalui para wakil-wakilnya di dalam pemilu yang dilaksanakan. Artinya dalam sistem demokrasi setiap orang mempunyai hak yang sama tidak ada pembedaan suku, ras maupun agama dalam mengeluarkan suaranya. Makanya kemudian muncul istilah yang sering kita dengar, bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita harus adil dan demokratis.

Dari pengertian demokrasi dan pengaplikasian pemilu yang ada di depan mata kita, maka silahkan dijawab dengan baik dan jujur beberapa pertanyaan di bawah ini :
1. Siapa yang berkuasa dan berdaulat dalam sistem demokrasi?
2. Suara terbanyak ataukah suara yang terbaik yang akan disahkan dalam sistem demokrasi?
3. Apakah ada perbedaan antara hak muslim dan hak non muslim dalam sistem demokrasi?
Mungkin cukup tiga pertanyaan dulu yang perlu kita jawab dengan jujur ya.

Point 1. Siapa yang berdaulat atau berkuasa dalam sistem demokrasi? Yaa...yang berdaulat di sini adalah Rakyat. Lalu sejalankah hal ini dengan Islam. Yuk...mari kita cek...,

Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kecuali kepada Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf : 40)



Dalam ayat ini disebutkan bahwa penyandaran hukum kepada Allah adalah ibadah, dan Allah memerintahkan kepada manusia agar tidak menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kecuali kepada Allah, dan ini disebut beribadah kepada Allah, dan ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu disebut beribadah kepada selain Allah atau sebagai bentuk kemusyrikan terhadap Allah.

Hukum ini sendiri dalam ayat itu Allah sebut sebagai DIEN (itulah dien yang lurus). Jadi hukum ini adalah dien, ketika orang mencari hukum selain hukum Allah maka dia telah mencari dien selain dien Islam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan :

“Barangsiapa mencari dien selain Islam tidak mungkin diterima dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran : 85)

Dalam hal ini sangatlah jelas, penyimpangan terbesar adalah pengambilan hak mutlak Alloh sebagai Rabb (Pencipta dan kemudian Pengatur) dirampas oleh makhluknya (rakyat). Waduh...serem bener ya...bahasa dirampas..., Lho karena sudah gamblang bahwa dalam sistem demokrasi yang berkedaulatan adalah rakyat. Yaa...terserah rakyat lah...yang mengatur. Mau haram mau halal itu rakyat yang berdaulat. Makanya masih jelas di depan mata kita...yang namanya perzinaan yang jelas-jelas Alloh larang malah dilokalisasi (dihalalkan). Yang namanya Miras yang jelas-jelas diharamkan oleh Alloh malah hanya dibatasi (masih dihalalkan). Yang namanya poligami, yang jelas-jelas dihalalkan malah diharamkan...lho lho...lho...

Yuk kita simak, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”,
Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?.
Maka Rasul mengatakan : “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab : “Ya”, Rasul berkata lagi : Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).


Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur).

Dalam sistem demokrasi, sumber hukum bukanlah dari Allah (Al Qur’an dan As Sunnah) melainkan Undang Undang Dasar yang dibuat oleh makhluk (rakyat), ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan nyata....

Ngomong-ngomong....dan btw...mohon maaf shob...ane mau kuliah dulu...ya...1 point dulu silahkan dan mari kita cermati dan jujur dari hati yang paling dalam silahkan disimpulkan ya..., nanti kita lanjut beberapa point lagi..



insyaAlloh.

Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl
blog comments powered by Disqus