“Halo, Assalamu’alaykum…..mas Panggih…” kuangkat panggilan di HPku dari nomor yang tak kukenal. Wa’alaykum salam..maaf dengan siapa ini? Ini Sugeng mas…”. Ternyata ia adalah saudara dari Yogya. Setelah menanyakan kabar terkini kondisi Merapi dan Yogya, tiba-tiba ia mengajukan sebuah pertanyaan…”mas Panggih, di Yogya ada lowongan mau ndak…?” serius nih katanya pingin bekerja dekat desa?”. “Kerjaan apa tuh dik Sugeng, insyaAllah memang pingin kembali ke desa tapi ya bukan sekarang”. Jawabku. “Benaarrr? Ntar nyesel?” Jadi juru kunci Merapi mas Panggih…hehehe.” Ternyata ia hanya bercanda. “Waduh..nanti aku jadi orang gak benar dong…”..jawabku. “Lho..kok gak bener,…..Mbah Marijan itu contohnya………..
Akhirnya dan seterusnya percakapan itu berujung sedikit debat, di mana saudaraku tetap yakin bahwa Mbah Marijan adalah orang yang bersih, yang taat beribadah, peduli dengan alam dan professional dalam menjalankan perintah sultan dari kerajaan Yogya. Benarkah demikian?
Belum lama, di samping memberitakan meletusnya Merapi, berbagai media juga tak ketinggalan memberitakan meninggalnya seorang tokoh yang dianggap pernah mampu “menaklukkan” Merapi, yaitu Mbah Marijan. Hebohnya lagi, Mbah Marijan ditemukan meninggal dalam keadaan sujud di tempat tinggalnya. Berbagai komentar bermunculan, ada yang salut dengan kondisi sujudnya, ada yang takjub dengan keberaniannya, ada yang salut dengan amanahnya Mbah Marijan mengemban tugas sebagai juru kunci Merapi dari sultan keraton Yogyakarta. Benarkah demikian?
Berikut ada tiga hal yang perlu kita cermati, pertama, ternyata posisi meninggalnya Mbah Marijan adalah dengan sujud menghadap ke selatan bukanlah ke kiblat. Ada penuturan orang Yogya bahwa sesungguhnya menghadap ke selatan itu adalah sebagai usaha Mbah Marijan melindungi keraton Yogya agar tidak terkena bahaya dari Gunung Merapi. Dan juga dapat dipastikan bahwa sujud menghadap selatan bukanlah ibadah dalam Islam. Lalu ibadah apa? Wallahu’alam. Seperti yang sudah kita ketahui, Mbah Marijan hingga meninggal masih berstatus sebagai juru kunci, sebagai “penjaga” Merapi yang sering kita lihat masih melakukan ritual-ritual adat Jawa yang tidak ada dalam Islam. Dimaksud ritual karena memang bertujuan seperti layaknya ibadah untuk meminta keselamatan namun dengan berbagai sesajen. Dan secara umum kita semua telah mengetahui bahwa dalam Islam tidak ada penyampaian do’a kepada Allah dengan menggunakan sesajen. Jika demikian, maka diyakini bahwa ada “kekuatan lain” yang bisa memberi keselamatan selain Allah. Padahal dalam Surat Al-An’am : 162-163 yang artinya : “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya”.
Ada lagi yang berargumen bahwa Mbah Marijan adalah seorang yang rajin sholat dan bahkan mendirikan sebuah masjid. Dalam sebuah Hadist Qudsi Allah berfirman : “Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan persekutuan. Siapa saja yang menyekutukanKu dengan selainKu dalam beramal maka akan Kutinggalkan ia bersama sekutuNya”. (HR. Muslim). Hadist di atas merupakan pernyataan Allah yang sangat jelas tidak bersedia untuk diduakan atau disekutukan, dan sesuai dengan makna tauhid “tiada ilah yang disembah melainkan hanyalah Allah ta’ala”.
Yang kedua, benarkah Mbah Marijan seorang yang peduli dengan alam? Jika selama ini Mbah Marijan ikut membantu terjaganya hijaunya Merapi, maka tidak diragukan lagi bahwa Mbah Marijan adalah seorang tokoh yang patut ditauladani. Akan tetapi, ketika para ahli atau pihak yang berwenang menyatakan status bahaya pada gunung Merapi, seyogyanya Mbah Marijan mengikuti anjuran untuk meninggalkan Merapi, karena jelas akan membahayakan keselamatan jiwa manusia. Akan tetapi, Mbah Marijan tetap tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya yang jelas akan terkena dampak bahaya Merapi. Apakah hal demikian merupakan tindakan peduli? Bukankah kita diberi amanah untuk menjaga jiwa raga ini?
Yang ketiga, benarkah Mbah Marijan seorang yang professional menjalan tugasnya? Menjawab pertanyaan ini, kita harus membenarkan sudut pandang kita secara benar. Jika ada seorang perempuan yang ramah, santun, dan selalu memuaskan pelanggannya, padahal ia adalah seorang pelacur, apakah kita tetap akan mengatakan ia seorang yang professional? Jika kita mengaku sebagai hamba Allah yang taat tentu itu bukanlah sebuah keprofesionalan. Tapi hal itu adalah sebuah kemaksiatan. Begitu juga dengan Mbah Marijan, jika ia adalah seorang hamba yang benar, tentu ia lebih mementingkan tugas dari Allah ta’ala, yaitu menghindarkan diri perbuatan seperti “menuhankan” seseorang yang harus ditaati walaupun harus mengorbankan jiwanya.
Tiga hal di atas, mungkin bisa menjadikan ibrah bagi kita sebagai hamba, yang selalu berusaha benar-benar menjadi hamba yang bersih, peduli dan professional di hadapan Allah. Dan tulisan ini bukanlah sangkalan bagi mereka yang bersikukuh menyatakan bahwa Mbah Marijan adalah seorang tokoh yang bersih, peduli dan professional karena sesungguhnya Allah-lah yang Maha Tahu dan mutlak memvonisnya. Dan kita sebagai ummat, hanya diberi sedikit hak untuk menilai dari tampak lahirnya semata dan disertai dengan dalil yang shohih dariNya. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), ………….”. (An-Nisa : 94). Wallahu ‘alam.