Masih segar dalam ingatanku, waktu itu sepulang kuliah, aku langsung cek jadwal kuliah untuk besok pagi, lalu kuambil beberapa buku langsung kumasukkan ke dalam tas agar besok langsung bisa berangkat kuliah. Hari itu hari spesial, tidak ada jadwal belajar atau menunggu pelanggan di rental komputer. Agenda rutin sebagai mahasiswa sekaligus perantau, sengaja aku pause sehari.
Setelah makan di warteg sebelah rental, akupun minta izin pada paman, sebagai pemilik rental sekaligus orang tuaku di Jakarta. Minta izin tidak “Standby” di rental dan izin juga pulang malam. Lalu dengan bekal seadanya, aku pun bergegas berangkat. Naik angkot, menuju ke sebuah tempat tinggal teman.
“Assalamu’alaykum….”, salamku bersemangat ketika telah sampai di tempat yang kutuju. “Waalaykum salam”…jawab serempak beberapa anak muda. Ahlan wa sahlan…sambut mereka. Afwan, baru pulang kuliah nih…., pinta maafku karena datang agak terlambat. Kulihat sudah puluhan kaos putih sudah selesai disablon. Akhirnya aku pun ikut berjibaku di sana, dengan niatan dan semangat suci untuk berjuang. “Allahu Akbar…..” geloraku dalam hati.
Itulah sepotong kisah masa lalu, saat turut berjuang mendukung barisan ummat dalam sebuah partai dengan visi yang jelas “Bersih dan Peduli”. Semangatnya pun jelas, ingin melahirkan pemimpin yang bersih dari korupsi dan peduli dengan keadaan rakyat kecil. Di saat krisis kepemimpinan, di saat krisis moral, di saat krisis ekonomi bangsa, siapa yang tak merindukan pemimpin seperti itu?
Tak hanya itu, saat jadwal kampanye menjelang, dengan semangat membara, kedua tangan dan kakiku juga mencoba turut menyumbang. Tak terhitung poster, bendera dan spanduk terpasang di pohon, di pagar-pagar dan di berbagai tempat lainnya dengan harapan menggugah hati dan harapan rakyat, bahwa besok akan ada kampanye partai yang “Bersih Pemimpinnya dan Peduli kepada Rakyatnya”. Sangat terasa saat itu getar-getar perjuangan di dada para kader yang umumnya adalah anak muda. Getar-getar perjuangan yang tulus ikhlas tanpa pamrih, kecuali hanya satu harapan yakni mewujudkan bangsa dalam keadilan dan kesejahteraan.
Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya jarak tempuh perjalanan di jalan politik, mengapa getar-getar perjuangan itu kian pelan dan menghilang? Panji-panji itu, sekarang berkibar di sana-sini tanpa ruh. Spanduk-spanduk ajakan itu, kini terpajang tanpa makna. Kebersihan kini terasa semakin tak terjaga, apalagi kepedulian, kini hanya slogan pemanis dan penguat status semata.
Adakah kebersihan jika sudah tak terasa gerak nyata untuk membersihkan lingkungan yang kotor? Yang ada kini malah justru ikut terkena kotor. Adakah kepedulian saat membela dan mempromosikan kemewahan di tengah penderitaan rakyat? Yang ada justru alasan membenarkan kebiasaan bermewah-mewahan itu. Yang terkini, menggelar hajat mewah di hotel ternama dengan alasan memperbaiki citra.
Yang terasa memang profesionalisme. Yah profesionalisme menghadapi realita di saat kesempatan telah didapat. Mengumpat syariat dengan dalih maslahat, memvonis kader yang tidak taat saat ada uraian tabayyun dan nasihat.
Entah, kini harapan-harapan indah rakyat akan bersandar dimana? Jika dulu ada sebuah partai harapan, jika dulu ada partai yang bersemangat menuju perubahan, jika dulu ada sebuah partai yang patut dijadikan tauladan, namun kini harapan itu telah hampir mati, walaupun slogan itu masih terdengar indah bahwa “harapan itu masih ada”.
Namun sebagai seorang mukmin, tentu aku tak akan berputus rahmatNya, karena harapan itu memang harus selalu ada dan kusandarkan hanya padaNya. Lalu berdo’a, semoga para petinggi dan pengambil kebijakan partai yang dulu terkenal “bersih” itu terbuka hatinya lalu mendapat cahaya. Juga kepada para kader tercinta mudah-mudahan mau membuka mata dan telinga, menerima nasihat kebenaran dan menghilangkan sifat “mengekor buta”, jika memang para pemimpinnya tak patut untuk ditiru dan diikuti, sambil terus mencari jawaban yang jelas dan tuntas, Partaiku akan Kemana Sekarang ?