Matahari tersenyum hangat. Hembusan sejuk angin pagi sesekali datang membelai. Aku menjemur pakaian di depan rumah kontrakan yang baru seminggu kutempati. Rumah kontrakan ini kusiapkan dengan penuh perjuangan untuk menempuh hidup baruku. Pukul tujuh tepat, aku telah merapikan rumah. Tak ada lagi potongan-potongan kertas hias, gelas dan piring kotor, apalagi pakaian bergantungan. Kemarin, seharian teman-teman berlatih nasyid di rumahku. Mereka jugalah yang membuat huruf-huruf hias untuk dekorasi resepsi pernikahanku besok pagi.
Namun tiba-tiba bisikan itu datang lagi, “Bagaimana bisa kamu berumah tangga tanpa pekerjaan?”
“Mau makan apa istri dan anakmu nanti?”
“Bagaimana perasaan orangtua dan mertuamu bila tahu kamu telah menjadi seorang pengangguran?”
Mendadak dadaku sesak, ingin menangis rasanya. Seminggu menjelang pernikahan, aku kehilangan pekerjaan. Mau mencari pekerjaan atau usaha sepertinya tidak sempat . Menggerutu, berkeluh kesah, apalagi berprasangka buruk pada Allah, hanya akan menambah kesengsaraan batinku. Kuikhlaskan saja semua yang terjadi padaku. Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.
Kemarin, aku sempat pusing dan bingung ketika bapak dan ibuku yang baru saja datang dari kampung bersama rombongan saudara bertanya tentang pekerjaanku. Kujawab saja, “ Sudah minta libur.” Aku terpaksa berkata begitu karena takut jika menceritakan yang sebenarnya, akan merusak suasana hati mereka yang tengah berbahagiai. Aku berniat menjelaskan semua setelah pernikahan. Untuk sementara waktu, sambil mencari pekerjaan lain aku akan bekerja di rental komputer milik pamanku, Lek Waluyo.
Kuhibur diri sendiri. Sebentar lagi Insya Allah masa sepi akan berakhir. Aku akan mempunyai seorang teman sejati, sang pendamping, seorang wanita yang halal dan berpahala ketika kuajak bercanda. Penat dan lelah akan hilang ketika memandang teduh wajahnya. Bersamanya, aku akan berbagi tugas rumah tangga. Alhamdulillah, bisikan-bisikan itu pergi bersama matahari yang semakin tinggi.
Kuperiksa isi dompet yang tebal karena terisi agenda dan catatan-catatan harianku. Beberapa lembar uang lima puluh ribu terselip di sana. Minggu kemarin aku sudah khawatir benar-benar tidak punya uang. Harapan untuk mendapat rejeki dari sebuah arisan yang kuikuti hilang ketika nama yang keluar dari kocokan bukan namaku. Tetapi ditemukan kesalahan. Nama peserta arisan ada yang dibuat dobel secara tak sengaja, sehingga keluar nama peserta yang sudah pernah menang arisan. Ketika dilakukan musyawarah, semua sepakat untuk mengalihkan pemenang arisan padaku. Ploong, alhamdulillah. Uang arisan itulah yang tersempat dalam dompetku.
Kejadian dalam arisan tersebut telah membuktikan membuktikan janji Alah. Dia memudahkan bukan menyulitkan, seperti pikiran-pikiranku selama ini, yang selalu dibayangi pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan ketika akan menikah. Aku jadi teringat nasihat seorang Ustad, perjalanan hidup ini tidak selalu dapat dihitung dengan matematika. Ada nilai-nilai dan angka yang datang tak terduga.
Aku masih harus ke pasar untuk membeli perlengkapan bawaan yang masih kurang. Kuambil bolpen dan selembar kertas. Aku bergegas ke rumah Lek Waluyo yang kebetulan tak jauh dari rumah kontrakanku. Aku ingin bertanya pada bulek, barang apa saja yang masih kurang. Aku juga akan mengajak ibu yang menginap di sana berbelanja.
“Assalamu’alaikum,..” teriakku di depan pagar rumah Lek Waluyo.
“Walaikumussalam,” terdengar jawaban serentak dari dalam rumah. Rupanya Lek Waluyo, Bapak, Lek Ratmo, Lek Yanto dan Lek Narto bersama beberapa keponakan, sedang bersantai sambil mendengarkan Campur Sari, lagu khas jawa yang kini mulai terlupakan oleh para putra jawa.
“Wah, penganten,” sahut Bulek Waluyo dari dapur. Aku langsung menuju dapur yang penuh dengan kesibukan memasak makanan santap siang. Kulihat ibu mengupas bawang putih sambil tersenyum dan bertanya, “Gimana, Le? Katanya mau belanja lagi?”
“Iya, bu,” jawabku sambil duduk mendekat.
“Uangmu masih ada nggak?” tanyanya lagi.
Jantungku seakan lepas mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang bukan sekedar pertanyaan. Pertanyaan yang penuh pengertian dan kekhawatiran. Aku sangat paham bagaimana perasaan wanita yang sangat kucintai itu. Ia tahu, aku baru 3 bulan lulus kuliah dan langsung dapat pekerjaan di Jakarta. Tidak lama kemudian datanglah detik-detik pernikahan ini. Pasti belum sempat menabung banyak uang.
“Alhamdulillah ada, Bu. Iibu ikut ke pasar, ya?” ajakku.
“Kalau ibu nggak ikut, nggak apa-apa to, Le? Ibu masih capek naik bus kemarin.”
“Ya, sudah, nggak apa-apa kok. Nanti sama Bulek Waluyo saja,” jawabku mengerti. Perjalanan naik bus dari Wonogiri ke Jakarta hampir 17, pasti .melelahkan.
Aku pun segera pergi bersama Bulek Waluyo ke Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan mengendarai motor teman yang sengaja dipinjamkan untuk operasional pernikahan. Menjelang sore selesailah agenda belanja hari itu. Melelahkan, tapi ada kelegaan. Uangku cukup untuk membeli semua barang bawaan yang kurang tersebut.
***
Usai shalat Maghrib di masjid, kuambil Al-Qur’an, kubaca Surat Ar-Rahman.
”Ar-Rahmaaaan……”
Air mataku meleleh.Kucium mushaf kecil itu. Ada sesuatu yang seakan-akan menggetarkan hati, ada sekilas bayangan indah, kesyukuran yang penuh atas karunia-Nya. Sebentar lagi Ar-Rahman mengabulkan permintaanku selama ini.
“Assalamu’alaikum…” tiba-tiba suara itu membuyarkan rasa haruku. Ana, adikku mengucapkan salam dari luar rumah kontrakan.
“Wa’alaikumsalam. Ya, Nduk, ada apa?” sahutku.
“Disuruh makan Mas, sudah ditunggu di rumah bulek?”
“Ya, .sebentar lagi, nanti aku ke sana.”
Aku meneruskan tilawah sampai dua halaman dan menuju ke rumah Lek Waluyo. Semua keluargaku menginap di sana. Rumah kontrakan hanya terdiri dari satu ruangan ruangan tamu yang penuh dengan bawaan buat pernikahan, ruang tidur dan dapur dapur kecil. Tidak ada lagi tempat untuk istirahat keluargaku.
Sembari makan, aku dan keluarga berbincang-bincang ke sana ke mari.
Hidangan makan malam: ayam, tempe goreng, dan Jangan Lombok, sayur cabe, khas wonogiri. “Serasa sedang berada di kampung,” gumamku saat menikmati makan bersama malam itu.
Setelah selesai makan, ngobrol ngalor-ngidul masih berlanjut, hingga akhirnya mataku tak kuat membuka lagi. Ngantuk luar biasa. Akhirnya aku minta pamit dan mengajak ibu dan adik tidur di kontrakan. Sejak kemarin mereka ingin tidur di rumah kontrakanku. Tidur bersempit-sempit, cukuplah untuk kami bertiga.
Sebelum tidur ibu sempat menanyakan banyak masalah. Harga rumah kontrakkan, padatnya penduduk Jakarta dan sebagainya. Ia membandingkan keadaan Jakarta dan kampung halaman kami. Terlintas kekhawatiran pada anaknya akan sulit hidup di Jakarta. Tapi semua kekhawatiran itukutepis. Kukatakan bahwa aku sudah mulai terbiasa menjalani kehidupan keras di Jakarta. Asal mau beusaha insya Allah bisa meraih rejeki.
Pembicaraan berhenti ketika kantuk menyerang ibu dan adikku. Ibu dan adikku sudah terlelap tidur. Mereka kelihatan masih sangat kelelahan. Sedangkan aku, malam itu mataku tidak mau terpejam sedikit pun. Rasa kantuk tadi hilang seketika. Sebagai gantinya, air mata mulai mengalir pelan ketika memandang wajah ibu, wajah penyejuk hatiku. Letih di wajahnya pasti aku juga yang melukisnya. Sampai detik-detik menjelang pernikahnku, ibu masih bekerja membanting tulang, berjualan ikan kali di pasar. Ia tak pernah menyaksikan terbitnya matahari di rumah, karena sehabis shubuh dan bahkan terkadang sebelum shubuh sudah berangkat ke pasar. Di pasar ia duduk menantang panas matahari, menggelar dagangan di sela-sela mobil angkutan yang sedang parkir, karena belum mampu membeli tempat di dalam pasar. Dan semua kelelahan itu tak pernah ia keluhkan padaku. Tulus kasihnya tanpa pamrih. Hanya satu keinginannya yaitu dapat membahagiakan dan menyekolahkan anaknya. Dan kini ia bersusah payah menuju Jakrta untuk menyaksikan pernikahan anaknya.
Aku merasa berdosa. Sampai saat ini, belum bisa membahagiakannya, malah terus merepotkannya. Aku takut setelah menikah nanti cintaku padanya berkurang, aku kurang memerhatian lagi, waktuku habis untuk keluargaku saja nantinya.
“Aku takut…menyakiti hatimu, Bu..” Aku berteriak dalam hati. Air mataku terus mengalir…hingga aku tertidur bersama rasa bersalahku.
***
Bangun Le, bangun, sudah adzan shubuh”, ibu membangunkanku.
“Iya, Bu…”. Aku bangun dengan mata yang masih pedas, air mata telah terkuras semalam. Aku beranjak menuju kamar mandi yang hanya satu langkah dari tempat tidur. Ibu pamit hendak shalat di rumah Bulek Waluyo sekalian bantu-bantu masak.
Jarum jam terus bergerak. Mentari kembali tersenyum menghangatkan Kota Jakarta. Selesai mandi, jantungku berdebar luar biasa ketika melihat kemeja putih serta jas yang siap dipakai. Dagdigdug. “Ya, Allah Alhamdulillah, tanggal 9 bulan 9 tahun 2007 telah datang padaku,..”
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, saksi pernikahanku nanti belum ada. “Masya Allah… siapa ya, nanti yang jadi saksi?”Kuambil handphone. Kucari-cari nama yang bisa kuminta tolong.menjadi saksi di buku telepon handphone.
Tok-tok-tok…”Assalamu’alaikum…” terdengar suara dari luar.
Setelah kujawab, segera kubuka pintu. “Oh…Miswanto, alhamdulillah pas banget antum datang.”
“Iya, sengaja ane datang, kalau bisa bantu-bantu apalah.”
“Kebetulan banget, Mis. Ane butuh saksi nanti Biar antum ketularan cepat nikah juga, hehehe..”
“Insya Allah nanti ane yang jadi saksi, deh.“
“Alhamdulillah,” ucapku.
Kemudian, kuajak teman Rohis kampusku dulu itu sarapan di tempat Bulek Waluyo. Ternyata Bapak Ibu dan saudara-saudara telah rapi memakai baju untuk resepsi. Setelah sarapan bersama, laskar pengantin bersiap berangkat.
Saat keluargaku dan tetangga yang ikut mengantar membagi-bagi barang bawaan untuk calon istriku, aku berwudhu, berharap bisa menenangkan perasaan yang tak menentu. Bahagia, gelisah, takut, bercampur jadi satu, menyebabkan keringat dingin di tubuhku.
“Bismillah….”
Kuhampiri ibu dan bapak yang sudah menunggu. Kucium tangan dan pipi mereka.
“Pak, Bu….mohon doa restu.” Air mataku hampir jatuh.
Laskar pengantin diputuskan untuk berjalan. Istana calon permaisuriku tak jauh dari rumah kontrakan, hanya beda RW.
Aku layaknya seorang raja, mengenakan jas hitam hasil pinjaman, kemeja putih panjang, berpeci, serta bersepatu hitam mengkilat. Aku berjalan paling depan memimpin rombongan. “Subhanallah, hatiku berbunga-bunganya, hingga lupa bahwa aku adalah seorang pengangguran.
Tak lama kemudian, rombonganku sampai di lokasi akad nikah, sebuah mushala kecil bernama At-Tarbiyah, di samping lapangan sekolah, tempat berlangsungnya resepsi pernikahan. Mushala itu milik SD 01 Srengseng Sawah. Aku bagaikan artis idola, banyak orang mengabadikan kedatanganku dengan kamera. Termasuk dua temanku, Agus dan Supri. Merekalah yang bertugas sebagai juru foto dan Qori, akad nikah nanti.
“Ya Allah balaslah kelelahan mereka dengan kebaikan berlipat ganda,” kataku dalam hati. Setengah jam sebelum aku berangkat tadi, mereka mengabarkan sudah datang bersama istri dan anak mereka.
Tak lama kulihat bidadariku berbaju panjang putih dan berjilbab warna emas diarak menuju mushala.
Setelah sambutan-sambutan, surat Ar-Rahman mengalun lewat mulut Agus, temanku. Suasana hatiku yang senang, berubah haru. Aku sesegukan, air mata tak mampu kubendung lagi. Kesyukuran tiada tara mengalir di relung hati. ”Alhamdulillah Ya Allah, alhamdulillah.
Kemudian, MC mempersilakan bidadariku mohon maaf dan minta ijin kepada kedua orangtuanya. “Bu…Pak…sebelumnya, .terimakasih yang sebesar-besarnya atas jasa bapak-ibu selama ini. Hari ini, seorang lelaki akan menjadikan saya sebagai pendamping hidupnya, mohon maaf atas segala kesalahan anakmu ini, mohon diampuni, dan mohon doa restunya.” Calon istriku menangis. Suasana mushala bertambah haru, semua mata yang menyaksikan ikut berkaca-kaca, sesenggukan. Mataku pus terus mengalirkan air.. Hingga membawakan acara selanjutnya, inti dari seluruh rangkaian acara, ijab dan kabul yang dipimpin Drs. Adam, S.Ag dari KUA Kecamatan Jagakarsa.
Akhirnya ikrar terucap, mengikat cinta suci, ikrar yang semoga diridhai Ilahi, ikrar yang menggenapkan separuh agamaku. Derai-derai air mata bahagia kembali menetes di atas hamparan sajadah mushala, saksi bisu di hari yang teramat cerah itu.
Saat raja dan ratu sehari dipajang akhirnya tiba. Aku dan istri dirias sedemikian rupa. Ada bahagia, ada haru dan ada malu kala itu. Rombongan demi rombongan tamu datang. Teman kampus, teman pengajian, tetangga dan saudara-saudara lain hilir mudik sampai resepsi pernikahan usai. Sang surya kembali ke peraduannya sambil tersenyum mempersilakan datangnya malam.
***
Sebelum bapak ibu kembali ke Wonogiri kuceritakan keadaanku yang sebenarnya. Untuk sementara, aku akan bekerja di rental komputer Pak Lek Waluyo sambil mencari pekerjaan yang lain. Mereka memaklumi, tapi aku yakin hal ini dapat menjadi beban pikiran mereka. Perasaan bersalah terus membayangi kebahagiaanku sebagai pengantin baru. Alhamdulillah, istriku bisa memaklumi keadaanku saat itu.
Belum lama merasakan manisnya pernikahan, kami mendapat kabar kurang baik. Ayah mertua masuk rumah sakit dan diopname. Darah tingginya kambuh. Waktu itu bulan Ramadhan baru menginjak beberapa hari. Terpaksa kami menikmati bulan madu di rumah sakit. Aku, istri dan ibu mertua tidur di teras, depan kamar bapak mertua dirawat. Kami menggelar tikar, berbantal sajadah yang sengaja kami persiapkan. Bau kamar mandi yang usil terkadang menusuk hidung dan beberapa kucing berkeliaran menemani kami. Kami maklum dengan kondisi rumah sakit yang menjadi rujukan Asuransi tersebut. Semua itu tak mengurangi tekad kami bertiga, menunggu bapak agar segera sembuh dari sakitnya. Hanya saja hatiku tersentil ketika keluarga penunggu pasien yang lain menanyakan pekerjaanku. Sedih dan malu juga pada mertua waktu itu.
Ketika adzan isya berkumandang, istri mengajak sholat isya dan tarawih berjama’ah di mushala rumah sakit. Seusai shalat, kami berdua duduk di teras mushala.
“Maaf, Mas. Apa kamu nggak ingin mencari pekerjaan?” tanya istriku
“Ya ingin lah, Dik,“ jawabku lirih. “Tapi, keadaan kita sedang begini, aku yakin nanti bakal dapat kerjaan. Dulu sempat ada yang menawarkan pekerjaan, tapi waktu itu mas masih kerja di tempat lama. Persiapan nikah kemarin bikin mas lupa tanya lagi.”
“Ya sudah, coba mas tanya lagi, barangkali masih butuh karyawan,” desak istriku.“
Setelah pembicaraan tersebut, kami kembali ke kamar bapak. Segera kukirim sms pada orang yang pernah menawariku pekerjaan. Sayangnya, laoran pesan yang kukirim: tertunda.
“Lho kok tertunda ya, Dik? “ tanyaku.
“Apa yang tertunda?” sahut ibu mertua.
“Ini lagi kirim sms sama teman yang dulu nawarin pekerjaan,” jawabku gagap. Kulihat istriku hanya tersenyum.
“Mbok, ya kamu main ke rumahnya saja,” kata ibu menanggapi lagi.
“Iya, Bu…insya Allah besok siang saya ke rumahnya”.
Gelap semakin erat memeluk dan menyelimuti bumi, rembulan terlihat redup menemani penduduk bumi yang sedang berlomba-lomba meraih pahala di malam Ramadhan.
***
Pagi begitu cerah. Cahaya mentari menembus sela-sela dedaunan pohon rindang di depan Rumah Sakit. Kuajak sang istri keluar agak jauh dari kamar bapak, duduk di salah satu deretan papan tempat duduk di bawah pohon. Para penunggu pasien diminta meninggalkan ruangan untuk dibersihkan oleh petugas cleaning service. Hanya ibu yang masih menunggu bapak.
Tiba-tiba, handphoneku berbunyi. Di layar handphone ada 2 pesan masuk. Pesan pertama laporan pesan terkirim dan yang kedua tertulis nama Pak Galeh, orang yang dulu pernah menawari pekerjaan. Kubuka pelan-pelan dan kubaca. Ia memintaku datang besok pagi ke rumahnya, membawa berkas lamaran kerja. Dari rumahnya baru berangkat ke kantornya. Aku girang sekali. Segera kuajak istriku mengbarkan berita gembira itu pada bapak dan ibu di kamar.
Esoknya pukul 08.00 aku sudah berada di ruko kawasan Kebayoran Baru. Aku diwawancarai, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan sebagainya. Dan tak disangka saat itu juga aku diterima bekerja dengan status percobaan 3 bulan. Aku tidak percaya, segampang inikah mencari pekerjaan?, Apakah ini mimpi? Dulu sebelum menikah, seperti mimpi tiba-tiba aku kehilangan pekerjaan. Dan kini aku mendapat pekerjaan seperti itu juga. Alhamdulillah, syukurku dalam hati. Aku langsung dikenalkan pada beberapa karyawan. Pak Galeh juga menjelaskan tugas-tugasku.
Siangnya, pada jam istirahat, kukabari istriku. Ia membalas smsku dengan penuh kesyukuran pula. Bapak ibu mertua juga ikut senang, dan bapak sudah bisa pulang besok pagi. Alhamdulillah ya Rabbi, nikmat-Mu bertubi-tubi. Lalu kutelepon ibu di kampung.
“Aalhamdulillah berkat doa ibu dan bapak saya sekarang sudah dapat kerjaan,” ujarku setelah bertukar kabar. “
Duh syukur yo, Le. Nanti ibu sampaikan pada bapak. Bapakmu sedang di sawah. Ia pasti akan senang juga. Baru semalam ibu ngobrol sama bapak tentang pekerjaanmu. Hati-hati ya, Le. Ibu lega sekarang!“
“Iya bu…mohon doanya agar lancar semuanya,” Air mata sudah membasahi pipiku..
Hilang sudah beban yang mengganjal di hati. Mendung di balik pernikahanku telah berubah jadi hujan, menyegarkan hatiku yang kering karena berusaha sabar menanti pekerjaani Kini, aku memiliki nafkah untuk menghidupi istri dan anakku kelak.
Inna ma’al ‘usri yusroo…Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan. Janji-Nya terbukti sudah padaku.