Masih belum hilang bayangan di pelupuk mata, ketika teman-teman mengantarkanku naik bus jurusan Kota Solo-Wonogiri. Mereka adalah anak-anak Solo yang aku kenal akrab di kampung tempat tinggalku saat ikut dengan paklek Gito. Ada yang masih SMA ada pula yang sudah putus sekolah. Di antara mereka adalah teman-temanku berlatih musik dan bermain gitar saat itu.
Masih terbayang-bayang juga kegembiraan ketika mendapat pengumuman kelulusan dan kemudian terluapkan dengan disemprotkannya cat ke baju dan celana seragam sekolah. Baju itu kini aku panjang sudut kamar tidur, kupajang dengan menusukkan jarum pada dinding kamar yang memang terbuat dari bilik bambu.
Terasa usai sudah kini perjuangan melanjutkan sekolah di jenjang SMU, yah…aku sebut sebuah perjuangan karena masih terbayang jelas ketika waktu itu lulus SMP, orang tua berfikir keras agar aku dapat melanjutkan sekolah. Dengan berbagai pertimbangan, khususnya pertimbangan ekonomi akhirnya aku ikut dengan paklek di kota Solo dan melanjutkan sekolah di sana. Sebab jika melanjutkan sekolah di kampung, setiap harinya aku harus naik bis cukup jauh menuju kota wonogiri. Dan jika dihitung-hitung cukup besar juga biaya transportasinya. Berbeda dengan jika aku disekolahkan di Solo, bisa cukup menggunakan sepeda dan tidak memerlukan biaya kost karena ikut dengan paklek. Urusan makan, orang tua sering membawakan beras dari kampung untuk di bawa ke kota Solo.
Lalu kini tak terpikir, entah apa yang akan kulakukan setelah kelulusan ini. Jika kuliah sepertinya tidak memungkinkan dengan melihat keadaan ekonomi orang tua saat ini, dan jika bekerja sungguh tak terpikirkan juga harus bekerja di mana. Sempat terbayang pergi ke Jakarta, namun sungguh dari dulu, saat masih sekolah sudah tertanam dalam benak bahwa aku tidak pernah mimpi untuk pergi ke Ibukota itu. Melihat potret kehidupan yang digambarkan di televisi cukup menepis niat untuk pergi ke sana. Tingkat kepadatan, tingkat kemacetan dan tingkat kriminal yang luar biasa, meninggalkan kesan tidak menarik untuk pergi ke sana.
Tiba-tiba…”le….coba kesini” panggil Ibu dari dapur. Cukup mengagetkanku dari lamunan di tempat tidur. Iya bu….” sahutku. Aku pun beranjak meninggalkan tempat tidur. Kulihat Mamak sedang menggoreng sesuatu dan bapak sedang makan di meja makan yang memang tidak jauh dari tungku tempat ibu memasak.
“Iya le….setelah semalam berunding dengan bapakmu, sebaiknya kamu pergi ke Jakarta saja ya”. Belum sempat aku menjawab. Lalu Mamak melanjutkan….”iya, di sana ada paklekmu Waluyo yang punya usaha rental komputer. Lebaran kemarin bapak ibu sudah sempat berbicara dengan paklekmu. Dia bilang yang sudah tidak apa-apa ikut saja, yang penting diniatkan benar-benar untuk belajar dulu di Jakarta”.
“Iya….trus kapan kamu siap, nanti bapak bilang ke paklekmu Ratmo, kemarin dia sudah bersedia mengantarmu ke Jakarta, sebab kalau bapak sendiri masih bingung kalau ke sana” tambah bapak. Aku hanya menganggukkan kepala, tanda setuju. Dan belum sempat aku menjawab…
“Iya le….mau di desa juga bingung kan mau gimana? Mau kuliah bapak ibu tidak ada biayanya. Itu mas Edi anaknya budhe Sumikem sudah lulus kuliah sampai jual sawah segala, sampai sekarang belum juga bekerja. Kalau tidak kuliah, mau bertani juga sayang-sayang kamu masih muda. Dan justru mumpung masih muda nyari pengalaman di Jakarta itu lebih bagus. Kamu harus lebih baik dari bapak dan ibu le…”…jadi orang tani itu harus serba nerimo dan panjang ususnya…, pas musim menanam harga pupuk melambung tinggi…namun pas giliran panen tidak ada harganya…” tutup mamak pelan.
Mendengar itu….terasa sesak leher dan terasa berat sekali aku ingin berbicara, “iya bupak…insyaAlloh saya siap”, lalu hampiri ibu…dan kupeluk. Entah berapa banyak air mata yang tumpah saat itu. Kulihat bapak pun selesai makan, seraya menenangkan“sudahlah le....di sana kamu kan juga ikut paklekmu.., mereka juga orangtuamu”.
***
Di keesokan harinya, ketika pulang dari sawah, kami biasa meminum teh bersama. “Bu, Pak…kalau saya berangkat ke Jakarta besok lusa bagaimana?” aku mengawali pembicaraan.
“Bener….? Tanya ibu meyakinkan.
“Iya..bu, bener…jawabku.
“Ya sudah kalau memang lusa siap, nanti malam kita ke rumah paklekmu Ratmo membicarakan hal keberangkatanmu. Paklekmu sudah bilang, kapan saja dia bisa”, sahut bapak.
Singkat cerita, akhirnya malam hari itu pun aku berdua dengan bapak ke rumah paklek Ratmo membicarakan perihal keberangkatan dan sebagainya. Dan diputuskan bapak dan ibu tidak ikut mengantarkan. Sekali lagi karena faktor ekonomi dan juga dua adikku yang tentu harus ikut jika bapak ibu akan ikut mengantarkan aku ke Jakarta.
***
Tak terasa…., dua malam jatah terakhirku tidur di kampung pun telah habis. Satu tas besar berisi pakaian sudah rapi kutata. Tak ketinggalan pula satu buah gitar kesayanganku juga aku siapkan, setelah berulangkali bernegoisasi bapak ibu untuk diijinkan membawanya. Awalnya bapak ibu khawatir jika aku membawa gitar tersebut akan mengganggu aktivitas di Jakarta nantinya. Tapi dengan berbagai alasan untuk hiburan dan beribu janji, akhirnya mereka membolehkan aku untuk membawanya.
Hari keberangkatanku pun telah sampai, panasnya siang kala itu tak mampu mencairkan suasana hatiku. Kulihat raut wajah ibu pun demikian, senyumnya tak mampu menutupi kesedihan dan beratnya hatinya ingin melepaskanku melewati jenjang perjuangan yang baru. Begitupun bapak, walaupun tak selembut ibu, nampak pesan penuh harap agar aku mampu melewati satu fase perantauan ini.
Jam sepuluh pagi tepat, paklek akhirnya datang diantar oleh Dewi, anak sulungnya. “Ayo…berangkat” teriaknya langsung. Rupanya paklek tidak menangkap sinyal keharuan di hati kami sekeluarga. “Iya….ini juga sudah siap, “sahut ibu dari dalam rumah.
Setelah makan bersama, akhirnya saat yang dinantikan pun tiba. Kami siap untuk berangkat. Ibu dan bapak serta si bungsu adikku perempuan ikut siap-siap untuk mengantarkan ke jalan raya yang tidak begitu jauh dari rumahku. Sedangkan adikku yang satu masih belum pulang sekolah, tapi aku sudah bilang dan pamit akan ke Jakarta pagi tadi ketika ia hendak berangkat sekolah. Ia pun sempat menangis dan memelukku.
Kugendong satu tas besar dan kupegang dengan tangan kananku gitar yang sudah kusiapkan. Sementara bapak dan ibu membawakan setengah karung beras dan beberapa oleh-oleh untuk paklek Waluyo di Jakarta. “Bismillah…………., sambil kutarik nafas panjang ketika kulangkahkan kaki keluar rumah. Tak terbendung tetes air mata mengakhiri tatapan pintu rumah. Pintu yang belum lama aku sapa, kini sudah harus aku tinggal lagi.
Di jalan, kupamit dengan beberapa tetangga yang berpapasan, begitu banyak para tetangga mengingatkanku untuk hati-hati dan mendoakanku agar senantiasa lancar mencari rejeki. Tak lama, akhirnya sampai juga kami di tepi jalan raya. Sambil menunggu bus jurusan Jakarta datang, tak bosan-bosannya ibu dan bapak menasihati, agar selalu hati-hati, agar selalu menghormati orang selama di Jakarta, agar selalu mengalah dan sebagainya. Dengan senyum dan anggukan aku jawab nasihat mereka.
Selang beberapa menit. Ton…ton…ton…, suara klakson bus terdengar…, ternyata nampak bus jurusan Jakarta telah datang. Kontan, langsung kupeluk ibu erat-erat dan ibu pun tak henti-hentinya mencium kening dan leherku. Entah…berapa banyak air mata lagi yang tertumpah kala itu….
Saat bis tepat sampai…aku ganti memeluk bapak…dan bapak yang tidak biasa-biasanya menangis jadi menangis juga, adikku si bungsu pun ikut teriak menangis. Kucium dan kupeluk juga dirinya…., kubisikkan “wahai adikku…doakan masmu ya…”.
Ayo…..mas…, teriak kondektur bis. Ternyata barang-barangku sudah dinaikkan. Aku pun beranjak, paman pun bersalaman dengan bapak dan ibu, dan akhirnya kami pun berpisah. Dan akhirnya bus yang aku tumpangi pun melaju meninggalkan para kekasih hatiku.
Di dalam bus, aku pun duduk sambil memejamkan mata. Menutup mulut rapat-rapat, menahan haru hati yang begitu dalam. Ternyata rapatnya pejaman mataku tak mampu membendung air mataku, mengalir deras….sambil terus membayangkan wajah bapak dan ibu serta adik-adikku. Dan dari dalam hatiku berteriak “wahai ibu, bapak dan adikku…selamat tinggal di jenjang perjuangan ini”. Yah…perjuangan baru…setelah menempuh pertarungan tiga tahun di kota Solo.
Tiba-tiba…”sudahlah le…”, kamu itu laki-laki lho…ojo cengeng, kata paklek Ratmo menenangkan. Banyak berdo’a mudah-mudahan kamu sukses di Jakarta, bisa membantu orang tua.” Dan spontan, aku pun berusaha menghapus air mata dengan menyadari penuh bahwa aku dan ibu memang orang yang terkenal gampang sekali menangis di keluarga besarku. Aku pun tersenyum, sambil mengiyakan apa yang dikatakan paklek Ratmo. “Iya lek…betul sekali,…sahutku lirih. Akhirnya kami pun jatuh dalam obrolan ke sana kemari.
Tak lama kemudian paklek tertidur, lalu kutatap deretan rumah dan pohon yang terlihat dari kaca bus. Namun warna-warni cat rumah di sepanjang jalan pun masih tak mampu menghilangkan keharuan dalam hatiku. Begitu juga hijaunya dedaunan pohon yang terlihat, masih tak mampu juga menyejukkan dadaku kala itu. Hingga kuterlelap.
***
Kini aku di kota harapan banyak orang itu, gumamku. Aku baca papan alamat yang terbuat dari seng yang dipasang oleh paklek Waluyo di depan rumahnya, Lenteng Agung RT. 06 RW. 07, Jakarta Selatan. Memang aku merasa asing di sana. Begitu padatnya rumah. Begitu sempitnya jalan masuk ke rumah-rumah. Tak sepertiku ketika masih di Solo atau di Wonogiri. Jalan masih sangat lapang, dari rumah ke rumah masih ada tanah kosong untuk menanam beberapa jenis pohon. Rumah paklek, ternyata juga tidak begitu besar. Satu kamar tidur, satu ruang tamu lesehan, dapur kecil yang gandeng dengan kamar mandi berukuran kecil pula dan satu ruang kosong tempat sholat yang sekaligus merupakan tempat yang disiapkan untukku tidur. Kagetnya, pas suatu ketika aku buka jendela dari ruang kosong itu, ternyata di pinggir pas ruang tempatku tidur itu adalah sungai. Walaupun belum terlalu hitam airnya, namun terlihat cukup banyak sampah yang tersangkut di sana-sini.
Di hari kedua di Jakarta, aku pun diajak paklek ke tempat usahanya, berjalan kaki ternyata tidak begitu jauh juga dari rumah paklek. Sesampainya di rental komputer milik paklek, ternyata ada dua orang yang merupakan tetangga di Wonogiri, yang selama ini ikut menjadi karyawan paklek.
Yah…beginilah le…, usaha paklekmu selama ini. Kita melayani rental komputer dan jasa pengetikannya. Nah yang terpenting buat kamu adalah cara mengetik komputer dengan cepat”, jelas paklek. Kamu bisa minta diajari oleh siap saja di sini. Dan kulihat, memang karyawan paklek sudah begitu cepat menarikan jari jemarinya menuliskan huruf dan angka di atas keyboard. Hmmm, aku tertarik juga. Seharian, agendaku hanya duduk melihat beberapa karyawan paklek sedang memainkan “jurus cepatnya” mengetik. Wah…aku benar-benar baru kenal nih..yang namanya komputer. Sebab dulu waktu sekolah STM, pemesanan komputer oleh sekolah baru datang saat di ujung waktu aku sudah harus meninggalkannya.
***
Hari demi hari terlalui, tak terasa sudah tiga bulan aku menginjakkan kaki di Jakarta. Alhamdulillah, dalam waktu tiga bulan itu aku sudah bisa mengetik sepuluh jari, tanpa melihat dan lumayan agak cepat walaupun tidak secepat karyawan lain yang memang sudah lama terbiasa mengoperasikan komputer. Walhasil, aku sudah bisa mendapatkan penghasilan dari mengetik di rental milik paklek tersebut. Di sana aku belajar melayani pelanggan, di sana aku pun belajar berkomunikasi dengan sesama karyawan, walaupun hanya enam karyawan termasuk aku.
Jika sore tiba, setelah sholat Ashar jika tidak ada pekerjaan, maka aku biasa duduk di teras lantai dua. Yah…betapapun kecil, kios rental paklek dibuat dua lantai, sederhana tapi terlihat kuat, karena walau tidak dicor tetap ditopang dengan balok kayu kemudian di atasnya baru diberi papan dan karpet. Lantai dua tersebut memang khusus untuk tidur para karyawan yang ada. Dari lantai dua tersebut kulihat ramainya kendaraan lalu lalang di depan kios. Teramat padat, “masyaAlloh semua orang di sini disibukkan mencari nafkah ya…, siang dan malam tiada henti-hentinya”, gumamku. Dan tanpa disadari akupun merupakan bagian dari keramaian para manusia pencari nafkah tersebut. Aku hanya mampu tersenyum tipis. Lalu terbayang saat masih sekolah di Solo, jika sudah sore begini aku teringat bersama teman-temanku, bersama-sama memainkan gitar mendendangkan lagu-lagu pop yang lagi ngetrend. Kini baru tersadar, bahwa inilah perjuangan sesungguhnya, yang harus menguras tenaga dan pikiran. Tidak seperti saat sekolah, yang kala itu memang cukup menguras tenaga dan pikiran, akan tetapi berbeda dengan saat ini, yang mempunyai beban moral mencari penghasilan di kota harapan. Hidup penuh gengsi, ternyata bukan hidup yang sebenarnya. Hal itu sempat terpikir, ketika di Solo dengan teman-teman sudah membuat group band, lalu sempat membuat beberapa lagu, ada bayangan ingin menjadi group band ternama, group band terkenal yang keren lalu digemari banyak fans. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala mengingat itu, padahal untuk menuju ke sana tentu butuh dukungan keuangan yang cukup banyak, sedangkan dulu sekedar untuk masuk ke Studio Musik saja kita harus patungan bersama-sama, ditambah uang itu bukan hasil keringat sendiri, melainkan sisa uang jajan yang diberikan oleh orang tua.
Di keramaian Jakarta itu, sungguh memang aku rasakan penuh perjuangan, karena harus bersabar berteman dengan sepi. Karena ternyata tidak mudah mencari teman di Jakarta. Berbeda seperti di Solo, yang suasananya masih guyup, masih sempat saling menyapa dan saling berinteraksi satu warga dengan warga yang lain. Dan sangat berbeda jauh dengan keadaan di Jakarta, yang masing-masing orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, sibuk dengan target usaha masing-masing. Walhasil interaksi pun kebanyakan hanya bersifat bisnis yang bisa diperhitungkan menghasilkan keuntungan. “Jakarta,… yah Jakarta…”, gumamku dalam hati.
***
Hari ke hari, pekan dan bulan demi bulan, hingga hampir satu tahun aku menetap di Jakarta. Dalam sekian waktu itu pun aku telah hidup numpang di rumah paklek. Alhamdulillah, istri paklek juga ternyata seorang bulek yang sangat pengertian selama ini. Tidak pernah mengucapkan kata-kata yang tidak mengenakkan selama aku ikut bersamanya. “Kalau aku gak sempat masak, masak mi sama telur sendiri ya”….itulah kata-kata yang sampai sekarang aku hafal darinya jika ia sedang tidak sempat masak.
Namun, lama kelamaan.., terbesit iri dalam hati dengan teman-teman lain yang di kios. Mereka bekerja di kios, tidur di kios dan makan juga dari penghasilannya sendiri. Berbeda dengan aku yang selama ini bekerja di kios, namun untuk makan dan tidur aku masih ikut dengan paklek. Ya…ada iri di hati untuk belajar hidup lebih mandiri. Seperti sebuah kenikmatan tersendiri.
Hingga di sebuah pagi nan cerah, ketika hendak berangkat ke kios, paklek dan bulek sedang berada di depan TV menyaksikan berita pagi. Aku pun mendekat, “paklek, bulek…, mohon maaf, saya itu baru kepingin sesuatu”, kataku membuka pembicaraan.
“Wah…kepingin nikah gih”, celetuk paklek.
“Iya..jangan-jangan sudah kepingin nikah”, sahut bulek.
“Tidak lah lek, saya kepingin belajar hidup mandiri, “jawabku.
“Hidup mandiri, maksudnya?”, tanya paklek, tapi sepertinya ia sudah membaca maksudku.
“Iya lek, saya itu kepingin sekali belajar seperti teman-teman di kios, bisa hidup lebih mandiri, tapi bener-bener bukan bermaksud lain atau ada masalah dengan paklek dan buklek, saya bener-bener pingin belajar lek”.
“Ya…sudah kalau memang begitu niatmu, “sahut bulek.
“Iya…di sini sebenarnya juga gak apa-apa kok gih, makan seadanya, tapi kalau memang niatmu begitu, aku juga mendukung”, tambah paklek.
Singkat cerita, aku pun pergi ke kios sambil membawa pakaian yang siap bawa. Alhamdulillah, teman-teman di kios pun menyambut senang. Ada tambahan warga yang menginap di “hotel” gratis tersebut. Di sana ada tambahan pelajaran lagi tentang kehidupan, belajar mengantri, belajar saling mengerti, belajar bertoleransi, belajar saling menghargai sesama warga kios. Saat itu ada tiga orang yang ikut menginap di sana. Yang dua lagi sudah berkeluarga dan mengontrak di daerah dekat kios.
***
Hari demi hari belajar hidup mandiri di kios kulalui, di sana memang agak lebih bebas keluar ke mana saja. Tinggal berkoordinasi dengan teman-teman mengenai kunci, siapa yang pergi, jam berapa nanti akan datang, dan siapa yang ada di kios. Namun akupun tidak suka terlalu keluyuran, paling jika ada pentas band yang free alias gratis aku berusaha datang. Ikut menonton dan sekadar untuk menghilangkan kerinduan akan teman-teman bermain band sewaktu di Solo.
Alhamdulillah, hingga di suatu hari, paklek baru tiba di kios dari salah satu kampus swasta lokal di Jagakarsa untuk mengantarkan hasil ketikan. “Wah…ini pengumuman bagus dari kampus tuh, siapa yang mau kuliah gratis?” tanya paklek ke semua warga kios yang sedang asyik bekerja.
Lalu aku menyahutnya, “gratis lek…”?
“Iya…gratis, asalkan bisa mempertahankan prestasi gih, “jelas paklek.
“Wah….kuliah saja gih, mumpung masih muda lho..”, celetuk kang Man, salah satu warga kios.
“Hmmmm, biasanya ada yang masuk pagi dan sore gitu gak ya lek?” tanyaku antusias.
“Ya…ada gih…, lebih jelasnya nanti tanya saja ke Pak Marbun ya, dia bagian penerimaan mahasiswa baru, bilang saja keponakannya Waluyo, dia kenal kok,” jelas paklek.
“Baik lek, besok saya ke sana insyaAlloh”, tutupku semangat.
***
Malam harinya, setelah kios tutup, aku akhirnya naik ke lantai dua, dan merebahkan tubuh di atas karpet plastik yang dijadikan alas tidur bersama. Kutatap langit-langit kios yang kayunya sudah nampak menua dan lelah menahan beban atap di atasnya. Dan akhirnya aku membayangkan jika aku kuliah. “Paginya aku kuliah sampai siang, dan siangnya aku pulang ke kios untuk mencari uang,” gumamku. Ilmu dapat dan uang pun dapat, tegasku dalam hati. Yess…aku harus kuliah..!!. aku pun lantang menyimpulkan dalam hati. Dan teman-teman pun mungkin tidak tahu bahwa aku sedang asyik berfikir. Teman-teman yang lain terlihat masih asyik dengan tayangan televisi yang cukup menghibur dan mengurangi kelelahan mereka bekerja seharian penuh menatap layar monitor komputer.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku mandi dan berbenah, aku pilih baju yang pas untuk pergi ke kampus. Setelah tepat jam 7.30 aku pun berangkat naik angkot menuju kampus. Seperti saran paman, akhirnya aku temui Pak Marbun di bagian penerimaan mahasiswa, aku tanyakan syarat-syaratnya, aku tanyakan prosedur, aku nyatakan perihal niatku untuk mengambil waktu pagi dan pulang siang untuk bekerja. Tak lupa aku sampaikan bahwa aku adalah keponakan Pak Waluyo yang sudah menjadi langganan pengetikan para dosen di kampus.
Dua hari akhirnya selesai juga aku melengkapi persyaratan untuk masuk menjadi mahasiwa, betapa bersyukurnya hatiku saat itu. Gambaran kuliah yang selama ini aku fikir hanya untuk orang-orang yang mampu, ternyata sudah di depan mata akan kujalani, dengan modal semangat dan keuletan agar mampu mempertahankan prestasi di semester-semester ke depan yang akan kulalui. Aku yakin, aku bisa, dengan jadwal tetap aku akan pergi mencari ilmu di pagi hari sampai siang hari dan selanjutnya aku pergi ke kios mencari penghasilan dari siang hari sampai malam hari, aku luruskan niat aku kuatkan niat saat itu. Karena luapan kegembiraanku, akhirnya aku tulis sebuah surat untuk bapak ibu di kampung, sambil berharap doa restu agar lancar aku menjalankan kuliah ke depan.
Lenteng Agung, 12 Juli 2002
Kepada :
Bapak ibu tercinta di rumah
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Bagaimana pak, bu kabar di desa? Alhamdulillah, berkat do’a bapak dan ibu kabar saya di Jakarta dalam keadaan sehat wal ‘afiat. Saya juga terus berdo’a agar bapak ibu dan Ana, Ari juga demikian.
Pak, bu…lewat surat ini juga saya ingin menyampaikan kabar baik, yang mudah-mudahan membuat bapak ibu turut gembira. Yaitu ada program beasiswa kuliah dari kampus yang menjadi langganan pengetikan rental komputer paklek Waluyo.
Pak, bu… setelah berbagai macam pertimbangan saya putuskan untuk ikut program tersebut. Saya mengambil kuliah pagi, lalu siangnya saya pulang untuk bekerja lagi di kios.
Untuk itu, saya mohon do’a restu dari bapak ibu agar anakmu bisa kuliah hingga lulus dengan lancar. Bapak ibu tidak usah khawatir, karena seluruh biaya perkuliahan gratis dari kampus asalkan saya mampu mempertahankan prestasi sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh pihak kampus. Untuk kehidupan sehari-hari insyaAlloh saya bisa mencukupinya dari bekerja setelah kuliah.
Mungkin cukup sekian dulu pak, bu…
Salam buat Ari dan Ana tercinta…..
Sekali lagi mohon doa dari Bapak dan Ibu..agar anakmu ini bisa lancar dalam menuntut ilmu dan dalam bekerja mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tanpa doa bapak dan ibu langkah perjuangan anakmu tak akan sempurna.
Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Salam cinta dari anakmu yang selalu merindukan,
Panggih. W
Aku akhiri surat dengan sesenggukan haru, karena saat itu aku juga benar-benar sangat rindu dengan Bapak Ibu serta kedua adikku. Cukup lama juga aku tak menatap mereka, cukup lama juga aku tak menggendong adikku, cukup lama juga aku tidak bercengkerama dengan mereka. Makan satu nampan dengan ibu, ngeteh bersama dengan bapak dan banyak hal yang semakin membuat aku rindu.
***
Sudah sekian lama aku menunggu waktu masuk kuliah, dari awal pendaftaran kemarin harus menunggu selama dua minggu. Sampai akhirnya, tibalah waktu itu. Hari senin, hari pertama aku masuk kuliah, hari pertama aku menuntut ilmu. Jam 7 pagi aku sudah berangkat karena kuliah masuk jam 8, walaupun dekat aku tidak mau ambil resiko telat hanya gara-gara macet di jalanan. Sampai di kampus, aku cari ruang yang ditunjukkan oleh Pak Marbun untuk jurusan yang kuambil, yaitu Teknik Sipil. Alhamdulillah akhirnya ketemu juga ruangan yang kucari dan hari itu pun aku mulai bertatap muka dengan namanya pak dosen dan bu dosen.
Seminggu telah kulalui, beraktivitas kuliah di pagi hari dan siangnya aku pulang ke kios untuk bekerja. Pada minggu kedua, tepatnya di hari senin seluruh mahasiswa program beasiswa alias gratis diumumkan untuk berkumpul di aula kampus. Ternyata cukup banyak juga mahasiswa program ini. Saat ini agendanya adalah kuliah umum yang akan disampaikan langsung oleh Rektor sekaligus Ketua Yayasan. Setelah beberapa sambutan dari berbagai ketua jurusan, maka tibalah giliran bapak rektor mengisi acara inti pada hari itu.
Awalnya beliau menyampaikan bahwa tujuan diadakan program beasiswa kuliah ini adalah untuk membantu bagi anak bangsa yang berpotensi namun tidak memiliki cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan di jenjang universitas atau perguruan tinggi. Mahasiswa cukup mengeluarkan biaya pada saat akan mengadakan ujian-ujian dan praktikum yang sifatnya masih menggunakan fasilitas di luar kampus. Hal itu memang sudah disampaikan oleh Pak Marbun waktu itu kepadaku. Namun, aku kaget bukan kepalang, di saat Rektor menyampaikan bahwa bagi mahasiswa yang mengikuti program beasiswa harus melaksanakan kegiatan piket menjaga kampus dan wacana akan diadakan program baris berbaris di setiap harinya setelah kuliah selesai. Dengan tujuan, ikut menjaga kampus dan meramaikan kampus, dengan keterusterangan rektor bahwa selama ini memang kampus masih sangat sepi di kelas paginya. Karena kebanyakan mahasiswa memang memilih di kelas malam sebab mereka rata-rata adalah para pekerja atau karyawan yang belum memiliki ijazah pada jenjang perguruan tinggi.
Mendengar hal itu, aku pun bingung dan gelisah, bukan tidak bisa menjalankan piket dan tidak bisa baris berbaris, melainkan aku tidak bisa memikirkan, kapan aku bisa mencari uang jika harus berada di kampus seharian? Dan ternyata banyak mahasiswa yang sepertiku, banyak yang mengeluh pula. Namun aku berfikir lain, apakah aku harus mengundurkan diri di awal perjalanan ini? Atau apakah aku harus protes keras ke pihak kampus yang tidak menyampaikan hal ini dari awal saat pendaftaran??
Malam harinya, aku berfikir keras mencari jalan keluar karena hal tersebut. Jika aku harus mengundurkan diri dari kuliah, lalu bagaimana dengan orang tua di kampung yang sudah sangat senang mendapat kabar baik ini? Jika aku tetap kuliah, darimana aku dapat mencari uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari? Akhirnya pertanyaan mengerucut menjadi dua pertanyaan tadi, sebab kalaupun harus protes, hal itu aku fikir tidak akan diterima oleh pihak kampus, sebab memang aku sadari dengan sepenuh hati bahwa memang tangan di bawah mempunyai posisi yang cukup lemah untuk bernegoisasi.
Sampai tiga hari tiga malam aku memikirkan jawaban dan keputusan mana yang harus kuambil, yang terbayang adalah wajah orang tua yang ikut bersedih ketika aku harus mengundurkan diri dari kuliah dan yang kedua terbayang aku harus hutang sana sini karena mencukupi kebutuhan sehari-hariku. Sampai di sebuah ujung malam, aku bermunajat penuh kepadaNya, memohon petunjuk karena aku yakin tak ada masalah yang tidak bisa terpecahkan di hadapanNya. Aku yakin, bahwa hamba tidak akan dibebani ujian di luar kadar kemampuan hamba tersebut.
***
Alhamdulillah, saat pulang kuliah tiba-tiba terlintas pikiran karena ingat bahwa ipar paklek Waluyo yang bernama Lek Sutimin mempunyai usaha memasok dan berjualan makanan ringan dan kerupuk. Akhirnya aku putuskan saat itu aku mampir ke rumah Lek Sutimin. Dan Alhamdulillah, orangnya ada di rumah sedang sibuk membungkus barang dagangannya.
“Assalamu’alaikum….. lek.., seru salamku.
“Waalaikum salam, eh..panggih…dari kuliah?
“Iya lek, dari kuliah lalu langsung mampir ke sini”.
“Tumben, biasanya malam minggu atau malam sabtu ke sini.
Akhirnya aku ceritakan semua apa yang terjadi dan apa masalahku. Dan aku utarakan juga niatku ingin ikut membantu menjualkan barang dagangannya. Alhamdulillah, Lek Sutimin memberikan kesempatan kepadaku untuk ikut menjualkan barang dagangannya. Sistemnya adalah aku mengambil barang dagangannya, aku titipkan di warung-warung, nanti ketika ada pembayaran dari warung-warung itu aku diberikan komisi sepuluh persen dari nilai total setoran yang aku dapatkan. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur di hari itu. Mentari pun tersenyum lebar melihat keceriaanku di sore itu.
***
Sabtu pun tiba, ini adalah hari pertamaku menambah status kerjaku yaitu sebagai pedagang. Pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan siap untuk berangkat ke rumah lek Sutimin. Kemarin sore aku sudah menceritakan kondisi kuliahku dan aku pun ijin ke paklek Waluyo bahwa aku sekarang membantu menjual dagangan milik lek Sutimin, artinya aku tidak terlalu teratur bekerja di rental komputer. Sesekali menyetor dagangan dan sesekali mengambilnya. Aku pun berangkat, berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil menuju rumah lek Sutimin. Rumahnya tidak terlalu jauh dari kios, kurang lebih lima belas menit aku bisa mencapai rumahnya.
Akhirnya aku sampai juga di rumah Lek Sutimin.
“Assalamu’alaikum….. “ seruku.
“Walaikum salam, eh…mas Panggih,” begitu istri Lek Sutimin biasa memanggilku. Memanggil mas karena anaknya memanggilku demikian.
“Lek Sutimin ada lek?”
“Oh ada, lagi bungkusin kerupuk di atas, kemarin baru nggoreng.
Aku pun langsung menuju ke lantai atas setelah minta izin ke istri Lek Sutimin.
“Assalamu’alaikum lek….” tegurku ke lek Sutimin.
“Oh Panggih…walaikum salam…, dari mana?
“Dari kios lek.., langsung terjun nih…..” gurauku.
“Bener nih…siap mental ?”
“Sip insyaAlloh lek…, kanjeng Rasul dulu kan juga pedagang hehehe….
“Ya sudah kira-kira barang apa saja yang kamu ambil, itu ada kue-kue ringan sama kerupuk. Tinggal kamu tempatin di kardus, nanti buat notanya”.
“Baik lek…sahutku semangat.
Bismillah, akhirnya aku mulai memilih-milih kue dan kerupuk mana yang aku anggap laku. Selama ini aku memang sudah ada incaran beberapa toko yang akan aku titipi barang dagangan ini. Ada yang dekat dengan kampus, ada yang di tengah perkampungan, dekat dengan klinik dan ada juga yang di warung makan.
“Sudah lek, ini sudah saya taruh di kardus dan ini catatannya, tinggal pindah ke nota, saya belum hafal harga-harganya”, beritahuku ke lek Sutimin.
Lek Sutimin pun mencatat semuanya ke dalam nota semua barang dagangan yang aku ambil. Lalu ia memberiku nota kosong untuk nanti aku mencatat barang apa-apa saja yang masukkan ke warung-warung. Dan aku pun hendak pamit hendak berangkat.
“Oia gih maaf, kemarin kan rencana kamu mau pinjem motor untuk muter-muter ke warung itu ya. Tapi motornya lagi rusak, gak tahu kemarin pas pulang setor barang, motornya mogok di jalan masuk depan itu. Alhamdulillahnya sudah dekat rumah jadi bisa didorong. Sampai sekarang belum sempat ke bengkel”, jelas lek Sutimin.
“Oh gitu lek…, gimana ya?... Oia….tapi ada sepeda ontel kan lek?
“Lho…kamu gak apa-apa pakai sepeda ontel?, tanya lek Sutimin meyakinkan.
“Wah..siap lek…gak apa-apa?” jawabku tegas, walaupun sebenarnya agak gimana begitu di dalam hati.
“Oh ya sudah…hati-hati jangan kenceng-kenceng narik gasnya”, ledek lek Sutimin.
“He he he he,,,siap lek…, aman insyaAlloh”.
Tak berpikir panjang, aku ikat satu kardus di tempat boncengan belakang sepeda. Dan satu lagi plastik besar berisi kerupuk aku ikat di stang sepeda karena tidak terlalu berat untuk membawanya. Dan akhirnya, aku pun mulai beraksi hari itu. Aku kayuh sepeda ontel di tengah keramaian jalan raya, mentari ikut menghangatkan semangat di tubuhku, hingga mengalir keringat di sela rambutku yang mulai memanjang, lalu menetes jatuh di setiap jalan yang aku lewati, aku berdo’a mudah-mudahan ia akan menjadi saksi bahwa aku tengah berjuang untuk berusaha mengukir senyum kebanggaan kedua orang tua di kampung. Dan aku terus berusaha membuang jauh-jauh rasa malu yang kadang-kadang menghampiri menggodaku setiap saat. “Gengsi lah gih.., kok gak malu kamu dagang kerupuk keliling begini”. Namun sesekali sejuk semilir angin menerpaku dan mengajariku untuk bersabar dan menepis rasa malu itu. Aku pun terus maju ke depan tak menghiraukan rasa malu itu.
***
Begitulah hari-hariku, pergi kuliah di pagi hari, siang hingga sore mengikuti program baris berbaris di depan lapangan kampus. Dan ketika sudah tiba waktunya aku harus setor dan mengambil uang di warung-warung aku langsung pergi ke rumah lek Sutimin. Malam harinya setelah itu aku baru standby di kios untuk menunggu pelanggan.
Dari sana aku belajar banyak lagi tentang kehidupan, belajar berinteraksi dengan banyak pedagang dengan bermacam-macam karakternya, belajar mengatur waktu, belajar menentukan prioritas, belajar membuang rasa malu dan gengsi yang biasanya sangat akrab dipunyai oleh para pemuda saat ini.
Hingga sekian lama aku jalani, akhirnya aku pun mulai menyukai dunia perdagangan. Dari sana akhirnya aku menjadi banyak teman. Dan aku pun mencoba-coba menitip jenis barang dagangan lain seperti minyak wangi dan sebagainya.
***
Tak terasa hampir empat tahun sudah aku jalani rutinitas demi rutinitas di kampus, di jalan, dari warung ke warung dan kios. Hingga tiba waktu di akhir-akhir semester, mulailah aku mengerjakan skripsi. Untuk teknis penulisan Alhamdulillah aku tidak mengalami kesulitan karena bisa aku kerjakan di kios. Aku pun minta ijin untuk numpang mengerjakan skripsi, mulai dari mengetik sampai mengeprintnya.
Namun ujian perjuangan ternyata belum terhenti, saat itu yang terberat bagiku adalah transport mondar-mandir dan biaya untuk mendapatkan data-data untuk skripsi. Apalagi saat itu aku mengambil tema mengenai Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) sebuah Mall di kota Depok. Aku harus bertemu dengan beberapa instansi, dengan divisi terkait di Mall juga. Belum lagi membuat janji ketemuan dengan dua dosen pembimbing, yaitu pembimbing teknis dan materi. Untuk menemui dosen tersebut, benar-benar aku harus ekstra membuat perjanjian dengan mereka. Terkadang harus ke rumahnya juga yang jauhnya luar biasa. Pernah suatu ketika aku kemalaman hingga tidur di rumah teman di Kapuk, Tangerang. Salah satu dosen pembimbingku tinggal di Serpong, jika aku posisi di Lenteng Agung, maka aku harus beberapa kali naik angkot dan bus. Pernah suatu ketika aku berangkat siang, karena alhamdulillah bisa ijin tidak mengikuti program baris berbaris dengan alasan mencari data atau asistensi skripsi. Sampai di rumah bapak dosen yang diserpong itu hampir-hampir magrib. Dan yang cukup geli bercampur sedih, saat itu untuk asistensi paling membutuhkan waktu bertemu dengan dosen itu sekitar sepuluh menit. Dicoret sana-sini yang dia anggap salah, lalu diberikan beberapa penjelasan perbaikan. Setelah itu tanpa basa-basi aku pun pamit untuk kembali pulang, saat berjalan menuju jalan raya, karena sudah adzan akhirnya aku mampir terlebih dahulu untuk sholat Magrib. Usai sholat, lalu aku berjalan lagi menuju jalan raya di mana ada angkot. Saat itulah aku kemalaman hingga menginap di kontrakan teman di daerah Kapuk, Tangerang.
Tahap demi tahap asistensi terus kulalui, sampai suatu saat aku dinyatakan siap sidang oleh kedua pembimbingku. “Alhamdulillah…,” seru hatiku lega. Namun di tengah kelegaan itu muncul ujian lagi, aku harus membayar uang sidang yang saat itu benar-benar aku tak mempunyai uang sama sekali. Sampai aku beranikan diri waktu itu untuk meminjam uang kepada paklek Waluyo. Dan paklek pun cukup memaklumi keadaanku.
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, yaitu sidang skripsi. Walau harus memakai jas dan sepatu pinjaman dari teman, aku sangat bersyukur ditambah dag dig dug bukan main jantungku saat itu. Tiada lupa pagi sebelum berangkat ke kampus aku sudah telepon bapak dan ibu untuk mendo’akan agar aku bisa lancar melaksanakan sidang skripsi. Dan ketika itu aku adalah mahasiswa program bea siswa pertama yang mengikuti sidang skripsi. Peserta sidang lainnya merupakan para mahasiswa karyawan yang masuk sore.
***
Jam dua sore akhirnya para peserta sidang masuk ke ruang sidang, kulihat mahasiswa yang lain pun tampak kulihat banyak yang tegang saat itu. Aku pun tersenyum, ternyata bukan aku saja yang tegang. Yah..tegang bercampur gembira.
Satu demi satu mahasiswa dipanggil. Dan giliranku akhirnya tiba juga. Di awal aku presentasi secara global isi skripsiku, kemudian ada beberapa dosen penguji yang memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar isi skripsiku. Ada yang bisa kujawab ada pula yang cukup membingungkan hingga mengundang aliran keringat di seluruh tubuhku saat itu. Dan sidang pun akhirnya berakhir. Mahasiswa diijinkan untuk istirahat sambil menunggu hasil keputusan sidang.
Suasana agak sedikit mencair, setelah beberapa jam tegang di dalam ruangan AC namun terasa panas karena aura seluruh peserta sidang yang memanas. Setelah makan dan minum di ruangan yang memang telah disediakan khusus untuk konsumsi para peserta sidang aku pun keluar sambil membawa segelas air mineral, menatap kerlipan bintang-bintang di angkasa. Cukup ramai, dan seakan mereka sedang menantikan hasil sidang skripsi juga saat itu.
Tak lama, panitia sidang pun memanggil para peserta sidang untuk kembali memasuki ruangan sidang. Serrrrrrrrrrrrrrrr, terasa berdesir jantungku mendengarnya. Penasaran, haru dan gembira menyelimuti. Kuhabiskan air minum ditanganku, dan aku pun masuk ke ruangan sidang bersama para peserta sidang yang lainnya.
Satu persatu, nama mahasiswa disebutkan bersama nilai yang telah didapatkannya. Ternyata ada juga yang mengulang untuk memperbaiki skripsinya. Dalam hatiku terus berdoa’..Ya Alloh….semoga hambaMu ini diluluskan dalam sidang ini”. Dan tiba juga akhirnya namaku disebutkan…, spontan kupejamkan rapat kedua mataku. “Panggih Waluyo, dengan skripsi berjudul…….., dinyatakan lulus dengan nilai B. Mendengar itu, seakan melayang jantungku saat itu, air mata bahagia pun tak mampu kubendung. Aku masih memejamkan mata, kupanjatkan benar-benar rasa kesyukuran saat itu. Akhirnya perjuanganku pun kini telah berujung sesuai harapan. Harapanku dan juga harapan para kekasih hatiku
***
Usai itu, aku ambil handpone dari dalam tasku yang mulai lusuh karena kesetiaannya menemaniku empat tahun kuliah. Kuaktifkan, lalu aku hubungi nomor HP orang tua di kampung.
Tut…tut…tut…, Halo Assalamu’alaikum….., salamku membuka.
Waalaikum salam le…..hiks, hiks.., suara ibu menjawab sambil terdengar beliau menangis kecil.
Belum sempat aku berbicara, ibu bertanya kembali..”Gimana le hasil ujianmu….?”.
“Alhamdulillah bu……berkat do’a bapak ibu anakmu lulus bu.…..hiks hiks hiks…….
Akhirnya pembicaraan terhenti sesaat……hanya tangis yang terdengar ketika itu. Dan gantian bapak yang berbicara..”syukur le…bapak ibu ikut seneng kamu bisa lulus kuliah”. Semalaman ibumu tidak bisa tidur….memikirkanmu…khawatir jika kamu tidak lulus sidang”.
Aku pun menangis sejadi-jadinya…, tangis bahagia…tangis diujung perjuangan yang sekian lama aku jalani.
“Ya…sudah le…sudahlah…, hibur ibu yang kelihatan sudah agak tenang.
“Iya bu....terimakasih atas susah payah dan doa ibu bapak selama ini….akhirnya anakmu bisa lulus. InsyaAlloh saya pulang bu pekan depan, karena masih ada sedikit urusan di kampus.
“Iya le…..bapak ibu bangga, bapak ibu senang sekali….., hati-hati selalu….ya hiks hiks…
“Iya bu….mungkin cukup dulu ya pak, bu, sudah malam saya juga segera mau pulang ke kios.
“Iyo…le…..
Assalamu’alaikum..
Waalaikum salam bu….selamat istirahat …..
Sambil mengusap air mata, aku pun segera bergegas pulang meninggalkan kampus. Di dalam angkot, masih tersisa sedikit isakan tangis di dada. Di sudut angkot, kupeluk erat tas hitamku. Dan angkot pun terus melaju mengantarkanku ke barak perjuangan yang selalu menantiku.
Malam itu kurasa berbeda, riuhnya klakson dan suara kendaraan bagai suara kegembiraan yang terucap untukku. Redup rembulan yang jarang kutatap pun seakan turut menyampaikan kebahagiaannya atas keberhasilanku pada hari itu. Lirih dari hatiku berucap padanya….
”wahai sang rembulan, sampaikan kabar kegembiraanku ini pada sang mentari, sampaikan terima kasihku atas kesetiaannya selama ini. Kesetiaan menemaniku belajar di kampus terluas ini…yaitu kampus kehidupan yang terus menempaku, yang terus memberikan pelajaran berharga padaku.
“wahai sang rembulan…tak lupa jua kusampaikan terimakasihku kepadamu, yang selalu setia menemaniku saat bermunajat…dalam mengarungi kampus kehidupan ini…., kuharap engkau kan selalu setia kembali menemaniku…menghadapi jutaan pelajaran yang pasti telah menantiku setelah ini….”.
***
Alhamdulillah…itulah sepotong jejak saya setelah lulus STM dan melanjutkan kuliah di Jakarta. Semoga setiap kisah mampu memberikan makna dan pesan. Bahwa memang pelajaran bukan semata-mata muncul hanya di bangku sekolah. Melainkan, bumi inilah bangku sekolah yang sebenarnya, yang terus akan memberi pelajaran bagi kita agar terus dan terus menjadi dewasa.
Terimakasih.