Judul di atas hanya ungkapan spontanitas ketika melihat realita yang ada saat ini. Terlebih lagi belum lama mendapat kabar dari teman yang sampai saat ini masih aktif di sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan. Singkat cerita, ternyata “gangguan” pun bertubi-tubi menghadang. Yang saya ikut prihatin, gangguan itu berasal dari oknum-oknum instansi dan oknum yang menginginkan lahan yang dijadikan tempat pendidikan gratis tersebut “dipindahkan” atau mungkin diganti dengan sarana bisnis. Allahu Akbar….
Padahal dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan, lembaga pendidikan gratis teman saya itu ternyata bukan hanya sekedar lembaga pendidikan. Bahkan, seperti tempat “peraduan” terakhir masyarakat yang papa dan menderita. Ada ibu yang akan melahirkan ditinggal suaminya, ada jenazah yang bingung mengurusnya karena tidak mempunyai biaya, dan berbagai macam “potret” ketidakmampuan.
Sempat saya berseloroh kepada teman saya….”hai bang….ente harusnya maju jadi walikota saja ya…”. Lalu ia jawab…”ah…tanggung..mending jadi presiden sekalian”.
Kisah nyata di atas mungkin salah satu potret, bagaimana seorang insan sebuah lembaga yang mempunyai visi mulia, namun masih saja dihadang oleh para pemburu harta. Padahal seharusnya visi itu didukung dan dimajukan.
Belum kita lihat lagi, ketimpangan yang luar biasa di negeri ini. Masyarakat terus digiring pada opini bahwa ilmu atau pendidikan adalah milik orang-orang yang berlebih harta. Bagaimana tidak, mari kita perhatikan realita di depan mata kita. Lembaga pendidikan dibuat sesuai kelas dompet masyarakat. Ada program gratis dari pemerintah, namun ya tentu harus banyak bersabar. Suatu ketika saya pulang kampung, ternyata pendidikan gratis pun sudah sampai di sana. Namun yang membuat saya kaget dan sedih, adik saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar “gratis” itu pun harus ekstra bersabar giliran memakai buku sumbangan dari sekolahan.
Di sisi lain, ada berbagai macam lembaga pendidikan yang “khusus” dibuat bagi mereka yang berdompet tebal. Melihat gate depan gedungnya pun saya berdecak kagum dan pada saat itu pula saya membayangkan dan menduga, jika ada orang tua yang kurang mampu secara financial melihat gedung ini pun akan merinding dan menunduk seraya berkata di dalam hatinya “wah ini tentu bukan sekolahan untuk anak saya”. Dan yang menambah tumpukan keprihatinan saya adalah gedung-gedung sekolah mewah itu pun berlabelkan Islam. Namun jauh bagaimana memperlakukan secara adil ilmu dalam pandangan Islam.
Mungkin sampai di sini ada yang berargumen, “Ya kan wajar jika bayarnya mahal maka fasilitas pun harus lebih mahal?”. Bagi yang berargumen demikian silahkan atau bahkan ingin mengungkapkan seribu alasan seilmiah mungkin juga silahkan. Tapi yang saya bicarakan bukanlah masalah teknis itu, karena jika hanya bermain logika jelaslah benar, di mana ada uang di situ ada rupa.
Yang ingin saya ajak bicara bukanlah semata-mata logika, namun hati nurani ada di masing-masing dada kita. Benarkah jika pendidikan atau ilmu harus dibayar dengan banyaknya harta? Adilkah jika di saat banyak yang berlomba-lomba mencari sekolah yang paling mahal, namun di saat itu pula ada orang tua yang tidak mampu menanggung biaya operasional sekolah anaknya?
Pertanyaan di atas bukanlah sindiran bagi para orang tua yang mampu menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan yang berkelas. Namun lebih untuk para insan pendidikan yang mengaku ingin “meninggikan” Islam. Janganlah lalu kita kehilangan arah, janganlah lalu kita berjuang dengan menutup sebelah mata. Mari kembali ke fitrah, bahwa ilmu adalah milik setiap manusia. Bahwa ilmu adalah milik mereka yang terus berusaha belajar. Jangan jadikan harta sebagai jurang pemisah. Biarlah ilmu bertemu dengan setiap orang yang telah berusaha menemuinya. Biarlah ilmu bertemu dengan setiap orang yang telah keras berjuang untuk mendapatkannya.
Lalu bagaimana teknisnya?
Jika cara berfikir dan niat kita telah lurus, insyaAlloh urusan teknis akan dipermudahNya. Mungkin subsidi silang dari para orang tua yang mampu juga bisa menjadi salah satu solusi. Solusi bagi orang tua yang tidak mampu, menjadi solusi juga bagi orang tua yang mampu agar berinvestasi jangka panjang untuk akhirat mereka.
Sekali lagi, penulis tekankan…bahwa ini adalah opini spontanitas….jika ada yang pantas maka mari opini ini kita perluas, hingga terdengar dan dipertemukan dengan nurani-nurani yang telah hilang. Jika ada kesalahan…penulis dengan senang hati menerima masukan dan saran yang memang benar-benar berniatkan meninggikan suara kebenaran.
Wallahu ‘alam.