Berjalan tanpa arah dan tujuan, tentu sebuah pekerjaan yang sia-sia. Sejenak coba kita bayangkan jika kita melihat dan memperhatikan seseorang yang demikian. Ia berjalan kesana kemari, terkadang menabrak pagar, menerjang tanaman dan bahkan terperosok ke dalam sebuah lubang yang ada di depannya. Tentu kita merasa aneh melihat orang tersebut. Mungkin bisa jadi kita menyebutnya sebagai orang yang mempunyai penyakit mental atau hilang akalnya. Mengapa? Karena jelas pekerjaan itu sia-sia, membuang waktu dan tenaga tanpa manfaat yang ada.
Begitu juga dalam kehidupan kita di dunia ini, layaknya sebuah episode perjalanan dari beberapa episode yang harus kita lalui, mau atau tidak mau, terpaksa ataupun tidak terpaksa. Berawal dari alam arwah yang telah kita lalui, kemudian dunia, lalu alam barzakh dan yang terakhir adalah alam akhirat yang berujung nikmat di dalam syurga atau sengsara di dalam neraka.
Jika saat ini kita telah memasuki episode kedua dari rangkaian perjalanan kehidupan kita, maka hendaknya kita pun sejak dini sadar dan tahu apa tujuan kita “ditempatkan” di dunia ini. Lalu kepada siapa kita bertanya akan tujuan itu?
Jika kita sebagai hamba, bumi sebagai tempat tinggal dan berbagai rezki telah diciptakan oleh Allohu ta’ala, maka sudah seharusnyalah kita bertanya tentang tujuan kita diciptakan di atas bumi ini juga hanya kepadaNya.
Dalam sebuah ayat yang sudah tidak asing bagi kita, Alloh sudah menetapkan apa sebenarnya tujuan kita di dunia ini :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (Adz-dzaariyaat : 56).
Dari ayat di atas paling tidak mengandung dua pengertian untuk kita pahami. Yang pertama yaitu diciptakannya kita di bumi ini adalah semata-mata untuk melalukan ibadah. Bukan sekadar menjalankan segala rutinitas, kemudian selesai menunggu ajal menjemput.
Lalu pengertian yang kedua adalah kita sebagai hamba hanya diperbolehkan melalukan ibadah tersebut kepada Allohu ta’ala saja, tidak boleh beribadah kepada selainNya. Maka, jika kedua pengertian di atas disingkat, intinya adalah visi atau tujuan kita diciptakan di sini adalah semata-semata hanya beribadah kepada Alloh saja.
Adapun segala isi dari alam semesta ini adalah fasilitas dari Alloh untuk kita beribadah kepadaNya. Dalam firmanNya Alloh telah menegaskan :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2] : 29)
Jadi, sangatlah keliru jika dengan segala fasilitas yang ada tersebut kita malah terlena dan lalai akan tujuan kita diciptakan di atas bumi ini. Karena betapa banyak di antara kita yang menghabiskan waktu semata-mata hanya untuk mengejar harta, pangkat, kekuasaan dan segala kenikmatan duniawi.
Lalu realnya seperti apa kita beribadah kepada Alloh di dunia ini? Apakah setiap hari kita harus berdiam diri di masjid untuk sujud dan beribadah kepadaNya? Jawabannya tentu tidak demikian. Jika kita diciptakan di dunia ini disertai dengan sifat yang melekat pada diri kita yaitu sifat sosial, yang mana setiap manusia yang satu pasti membutuhkan manusia yang lain. Dari sinilah tentu timbul komunikasi, transaksi dan berbagai bentuk hubungan yang lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing. Maka di sinilah peran “ruh beribadah” yang Alloh kehendaki, yaitu agar segala komunikasi dan transaksi antar manusia tadi tidak sampai melanggar apa yang Alloh perintahkan. Misalnya, dalam mencari rezeki dengan berdagang, tentu kita tidak diperbolehkan untuk melakukan perdagangan tersebut dengan cara menipu atau bersumpah palsu. Atau contoh yang lain misalnya dalam mencari pasangan hidup, tentu kita tidak diperbolehkan juga melakukan cara-cara pintas yang dilarang oleh Islam, seperti berzina atau kumpul kebo dan sebagainya.
Begitulah contoh real bagaimana bentuk beribadah kita kepada Allohu ta’ala di atas bumi ini. Setiap masalah dan setiap langkah haruslah berjalan di atas rel aturan Allohu ta’ala. Selain itu juga kita dituntut wajib beribadah rutin sesuai dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam ajarkan kepada kita. Seperti ibadah puasa, sholat, zakat dan sebagainya.
Alloh menginginkan, agar setiap nafas kita berhembus dalam rangkaian penghambaan kepadaNya. Alloh menginginkan agar setiap langkah kaki kita merupakan langkah menuju ridhoNya. Alloh menginginkan agar setiap kata yang terlontar merupakan kata-kata yang mengakui akan kebesaranNya.
Setiap hari kita selalu mendengar kumandang adzan, yang sebenarnya selalu mengingatkan kita akan kebesaranNya. Seakan-akan Alloh berkata kepada kita “ingatlah wahai manusia Akulah Yang Paling Besar”. Lebih besar dari harta dan kekuasaan yang engkau cari, lebih besar dari segala urusan duniawimu”.
Namun karena “tuli dan butanya” pendengaran dan penglihatan jiwa kita, kita sering menganggap itu tak ubahnya seperti barisan kata-kata yang diteriakkan oleh muadzin, yang menandakan datangnya waktu sholat. Walaupun sebenarnya kita sangat tahu apa arti dari setiap kata yang dikumandangkan tersebut.
Pandangan dan penglihatan jiwa kita tertutup oleh segala orientasi kita yang melulu duniawi. Akar permasalahannya adalah kita lupa dan terlena akan tujuan sejati kita di sini, kita lupa dan terlena bahwa kita hanya “diadakan” oleh Yang Maha Ada, dan Ialah pula yang menetapkan tujuan kita diadakan di sini yaitu semata-mata beribadah hanya kepadaNya.
Jika demikian, maka seharusnya sejenak kita bertanya dan menjawab dengan jujur pertanyaan, “sudahkah kita tahu dan mau tahu akan tujuan yang ditetapkan oleh Sang Pencipta kita? Ataukah kita menjalani hidup ini dengan apa adanya saja, dengan dalih biarlah mengalir seperti aliran air di sungai. Padahal banyak juga aliran air yang akhirnya terhenti pada tempat yang sangat menjijikkan. Naudzubillahi min dzalika.
Semoga kita diberi kekuatan oleh Alloh ta’ala sebagai nahkoda-nahkoda kapal kehidupan yang tahu akan tujuan. Bukan nahkoda yang bodoh, yang membiarkan kapalnya terombang-ambing diterpa hantaman ombak di tengah lautan, yang akhirnya tenggelam dan membinasakan. Amiin.
Wallahu ‘alam.