Malam serasa enggan melepaskan peluknya, karena masih menyisakan dingin di pagi hari yang begitu cerah, mentari tak nampak kelelahan padanya walaupun seharian kemarin menyaksikan acara pelepasan status lajangku. Seakan ia turut merasakan kebahagiaanku bersama bidadari yang baru saja aku dapat. Namun ia tak tahu tentang sedikit kegelisahanku pagi ini.
Kutarik kordeng di jendela kaca rumah kontrakan, kututupkan setengahnya agar cahaya mentari tak masuk seluruhnya ke ruangan depan. Aku dekati segelas teh manis yang telah dibuatkan oleh bidadariku, kuminum perlahan, bismillaah…", sruput… alhamdulillah……… menghangatkan dada, namun tak juga menghilangkan kegelisahanku.
"Manis gak mas?tanya istriku yang dari tadi melihat daftar tamu pernikahan, tiba-tiba memecah kebekuan perasaanku.
"Oh…sudah pas dik, sambil kubalas dengan senyum lebar, setengah kupaksa.
"Tapi ada yang kurang pas di hati mas…",
"Apa tuh mas?"
"Iya….masalah pekerjaan dik, seharian kemarin sebenarnya sama sekali tak terpikirkan masalah ini…yang ada hanya senyum senang saja, tapi baru muncul sekarang".
"Tenang mas, insyaAllah nanti ada jalan kok"
"Iya dik, …amin, tapi mas sebagai kepala rumah tangga merasa gelisah terus…".
"Udahlah mas…kita ini pengantin baru lho, masak sedih begitu. Kita nikmati dulu pertemuan kita ini, hibur istriku, seperti mencoba mengakrabkan dirinya denganku.
"Oia mas, kita cek list aja dulu yuk apa-apa saja yang perlu kita beli, seperti alat dapur dan sebagainya.
"Iya deh, nanti kita pergi ke pasar, mumpung belum begitu panas."jawabku datar.
Setelah cukup mencatat kebutuhan alat-alat yang kami anggap harus dibeli, kami pun segera pergi ke pasar, menembus keramaiannya, mencoba melupakan kegelisahan yang belum juga beranjak dari hatiku.
***
Waktu terus menaati perintahNya, berputar mengganti hari demi hari, hingga di suatu siang, HP istri berbunyi…., aku lihat ada panggilan masuk bertuliskan "Ana", adik istri yang merupakan anak kedua dan terakhir.
"Dik, ada telpon nih, kulihat ia mengambil jemuran yang sudah mengering.
"Tolong diangkat saja mas..!"
"Gak ah, dik aja yang angkat. Kuberanjak kuserahkan hp.
"Assalamu'alaikum….ngapain na, ganggu aja lu…, hehe? Terdengar istriku meledek adiknya.
"Hah…dimana, kapan?
"Ya udah nanti aku menyusul sama mas.
"Kemana dik? Ada apa? Tanyaku penasaran.
"Bapak masuk rumah sakit mas."
"Hah…sakit apa?
"Biasanya darah tingginya kambuh mas".
Dengan gerak cepat kamipun segera mengambil, memasukkan seluruh jemuran ke rumah dan segera merapikan diri lalu bergegas berangkat.
***
Bapak berbaring lemas di atas tempat tidur, berselimut putih bergaris hitam setengah badan, rasa sakit di perutnya sudah mereda. Kata ibu tadi siang sempat membuat gelisah seluruh keluarga. Kini tinggal bertiga yang menunggui bapak, yakni kami dan ibu. Kami gelar tikar kecil dan beberapa lembar koran di teras depan ruangan tempat bapak dirawat. Pemandangan kesedihan, harapan dan keletihan nampak menghias di setiap wajah keluarga yang menunggui orang-orang tercintanya tak berdaya di atas tempat tidur, termasuk kami. Hingga mentari memancarkan sinar lembutnya saat ingin menuju peristirahatannya pun tak mampu menghibur suasana di hati kami.
Akhirnya malam pun membawa selimut pekat dan telah siap menghangatkan bumi. Alunan adzan Isya menghadirkan suasana lain di hati, ditambah sahut menyahutnya bilal yang meneriakkan niat sholat tarawih. Malam ini adalah malam pertama bulan Ramadhan, ada kegembiraan tersendiri di balik kesedihan.
Akhirnya aku ajak istri untuk turun menuju musholla, karena ibu bilang mau sholat di ruangan bapak saja. Memang, lumayan melemaskan kaki jika menuju musholla karena ruang bapak berada di lantai tiga, sedangkan musholla berada di lantai satu.
Tak terasa sudah dua hari menikmati malam-malam di rumah sakit. Namun masih saja kegelisahan itu masih menggelayuti dada. Apalagi jika ada keluarga pasien yang bertanya masalah pekerjaan, ada perasaan kesal, haru dan sedih lalu harap. Setiap mengakhiri terpejamnya mata, ku selalu berdo’a “Ya Rabb…….Engkau tahu kegundahan hati hambaMu ini………..”, lalu kuberdo’a kupejamkan mata, kupendam dalam-dalam kegelisahan hingga tak terdengar apapun di telingaku.
***
Pagi begitu cerah. Cahaya mentari menembus sela-sela dedaunan pohon rindang di depan Rumah Sakit. Kuajak sang istri keluar agak jauh dari kamar bapak, duduk di salah satu deretan papan tempat duduk di bawah pohon. Para penunggu pasien diminta meninggalkan ruangan untuk dibersihkan oleh petugas cleaning service. Hanya ibu yang masih menunggu bapak.
Tiba-tiba, handphoneku berbunyi. Di layar handphone ada 2 pesan masuk. Pesan pertama laporan pesan terkirim dan yang kedua tertulis nama Pak Galeh, orang yang dulu pernah menawari pekerjaan. Kubuka pelan-pelan dan kubaca. Ia memintaku datang besok pagi ke rumahnya, membawa berkas lamaran kerja. Dari rumahnya baru berangkat ke kantornya. Aku girang sekali. Segera kuajak istriku mengabarkan berita gembira itu pada bapak dan ibu di kamar. Alhamdulillah hari itu, di tengah kesedihan rumah sakit ada kegembiraan yang diselipkan olehNya. Tak sabar, ingin rasanya memutar seluruh jarum jam di dunia agar waktu berjalan lebih cepat lagi menuju besok.
Keesokan harinya, biasanya jam delapan pagi aku dan istri baru pamit untuk pulang ke rumah untuk masak dan sebagainya, berbeda dengan pagi itu, sehabis shubuh aku sendiri minta pamit untuk pulang lebih awal, sebab ingin menyambut kabar terbaik tadi malam. Lagi pula semalam sudah sepakat dengan istri bahwa aku pulang sendiri untuk menyiapkan berkas dan sebagainya, lalu nanti sepulang panggilan kerja tersebut aku langsung ke rumah sakit. Aku pun segera bergegas.
***
Di sebuah ruangan aku duduk menunggu. Kupandang setiap sisi dan sudut ruangan itu, ada peta, gambar-gambar bangunan, gambar kebun….ini perusahaan apa ya? Tanyaku dalam hati.
Lumayan lama juga aku menunggu, dan akhirnya aku dipanggil, disuruh masuk ke ruangan yang lain. Aku diwawancarai, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan sebagainya. Dan tak disangka saat itu juga aku diterima bekerja dengan status percobaan selama tiga bulan. Aku tidak percaya, segampang inikah mencari pekerjaan?, Apakah ini mimpi? Dulu sebelum menikah, seperti mimpi tiba-tiba aku kehilangan pekerjaan. Dan kini aku mendapat pekerjaan seperti itu juga. Alhamdulillah, syukurku dalam hati. Aku langsung dikenalkan pada beberapa karyawan. Pak Galeh juga menjelaskan tugas-tugasku.
Siangnya, pada jam istirahat, kukabari istriku. Ia membalas smsku dengan penuh kesyukuran pula. Bapak ibu mertua juga ikut senang, dan bapak sudah bisa pulang besok pagi. Alhamdulillah ya Rabbi, nikmat-Mu bertubi-tubi. Lalu kutelepon ibu di kampung.
“Alhamdulillah berkat doa ibu dan bapak saya sekarang sudah dapat kerjaan,” ujarku setelah bertukar kabar. “
Duh syukur yo, Le. Nanti ibu sampaikan pada bapak. Bapakmu sedang di sawah. Ia pasti akan senang juga. Baru semalam ibu ngobrol sama bapak tentang pekerjaanmu. Hati-hati ya, Le. Ibu lega sekarang!“
“Iya bu…mohon doanya agar lancar semuanya,” Air mata sudah membasahi pipiku.., “maafkan anakmu bu…jika aku sering membuatmu gelisah..”, kataku dalam hati. Hilang sudah beban yang mengganjal di hati. Kabut kegelisahan yang selama ini bersarang di hati pun berangsur-angsur sirna, berganti awan biru yang terang.
Di sela deruman suara kendaraan, kudengar alunan adzan, kucari sumber suara itu, namun agak susah memastikan arahnya. Lalu kutanyakan tukang parkir letak masjid yang terdekat dari kantor itu, ia menunjukkan. Kuucapkan terimakasih dan bergegas sembari mengajaknya, namun tak ada tanda-tanda ketertarikan darinya. “MasyaAllah, aku pikir bapak itu rajin ke masjid, sebab kulihat ia memakai kupluk hitam di kepalanya”, ah mungkin ia khawatir dan sedang menunggu penggantinya untuk menunggu mobil”, gumamku berusaha husnudzon.
Sehabis sholat aku kembali lagi ke kantor, perut pun sudah mulai menuntut untuk diisi. Tapi aku bingung mau makan dimana, terlihat hanya ruko-ruko. Ah…nanti ajalah aku tahan saja, kutahan lapar, kududuk ”kursi kantor pertama", yang memang baru ini aku bekerja di kantoran. Namun tiba-tiba, "Gih…kata pak Ari, kamu boleh pulang dulu, besok kamu bisa mulai kerja masuk jam setengah sembilan ya".
"Alhamdulillah……, teriak hatiku. Oh..iya, pak terima kasih, kebetulan Bapak saya juga mau keluar Rumah Sakit sore nanti.
Aku pun bergegas, membereskan tas, berpamitan. Langsung kumenuju parkiran, kuambil motor dan segera kuajak ia menyusuri jalan aspal yang memantulkan panas mentari, namun ternyata tak mampu mengurangi kebahagiaanku di hari itu, menuju rumah sakit.
Hampir satu jam, akhirnya sampai juga di Rumah Sakit langsung ku menuju lantai dua, ke ruangan Bapak, ternyata mereka sudah siap-siap untuk pulang.
"Assalamu'alaikum…..
"Wa'alaikum salam…, selamat yo le….tegur Ibu Mertua
"Iya bu…makasih..he he.., sahutku girang padanya, walau Ibu Mertua, aku cepat sekali akrab dengannya, bagai ibu kandungku dan aku memang bertekad tak akan membedakannya dengan ibu kandungku di kampung.
"Ayo pulang", sahut Bapak.
"Walah dah gak sabar, ledek istri.
Ya udah….ayo.
Alhamdulillah hari ini benar-benar hari bahagia. Selamat tinggal Rumah Sakit, kan ku sambung hari lebih indah di rumah kontrakkanku, walau tak seluas dirimu" gumamku dalam perjalanan.
Bapak Ibu naik taksi dan aku bersama istri mengikutinya dengan sepeda motor di belakang, mengawal. Setelah beberapa lama, akhirnya sampai juga. Di depan gang kecil taksi berhenti. Bapak Ibu turun, barang-barang bawaan aku ambil dari bagasi dan aku angkut dengan motor memasuki gang, sementara Bapak Ibu ditemani istri.
***
Setelah agak lama di rumah mertua, aku dan istri pun segera pamit pulang.
"Pak, bu…dak agak sore, kami balik dulu ya, "pamit istri.
Ya sudah,,ati-ati ya, hati-hati juga kalau besok masuk kerja, jawa ibu.
"Iyo hati-hati, bapak menyahut, besok pakai motor bapak saja.
Nggih pak, kami jalan kaki aja dulu, besok berangkat kerja saya mampir sambil ngambil motor."
Kami pun melangkah, menuju rumah kontrakan. Ada kerinduan tersendiri, walaupun sempit dan bukan milik sendiri, namun serasa rumah kontrakan itu bagai surga kecil yang selalu menanti.
Sesampai di depan rumah, buru-buru kuambil kunci dalam tas, perlahan kubuka kunci dan pintu….Ngeek…..".
"Assalamu'alaikum…..' salam kami serempak. Setelah salam, kami hanya terdiam sesaat, memandang sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Air menggenang di ruang depan, aku berpikir sesaat, padahal hari ini tidak ada hujan.
"MasyaAllah mas,….
"Iya dik, kenapa ya, tanyaku sambil kugulung celana panjangku hingga di bawah lutut
Kami pun masuk, aku buka gording jendela, dan terjawab sudah akhirnya dari mana air itu datang.
"Astaghfirullah..mas, ternyata air dari kamar mandi ya,…,
"Iya dik dari ruang belakang…..
"Keluar saja dulu mas…, ajak istri.
"Iya dik,
Kami pun keluar rumah dan duduk di atas pagar pembatas rumah kontrakan sebelah. Kami masih setengah percaya akan kejadian yang baru saja terlihat.
"Tanya dulu saja mas, sama ibu sebelah, kenapa tuh kok bisa banjir.
Aku tak menjawab, hanya menganggukkan kepala. Dan kucoba dekati pintu rumah kontrakan sebelah yang dari tadi tertutup dan hanya terdengar suara TV dari dalam.
Assalamu'alaikum….bu…
Wa'alaikum salam…, kudengar jawaban dari dalam, dan setelah pintu dibuka.
"Eh….sudah pulang mas,
"Sudah bu, alhamdulillah, bapak juga sudah di bawa pulang, …
"Oh…ya alhamdulillah…kalau gitu.
"Oia, bu maaf, mau nanya nih….
"Nanya apa ya…?
"Tempat saya kok kebanjiran ya bu? Tanyaku penasaran.
"Sama mas, tempatku juga, satu deret kontrakan ini banjir semua tadi pagi, ini aku baru beres bersihin rumah dan ngepel. Kan kontrakan ini satu pipa pembuangan, trus ada yang buang sampah ke pipa pembuangan kamar mandi kayaknya, makanya bikin mampet deh. Tapi tadi sudah dibersihin pakai kayu kok, dan kotorannya sudah keluar" jelas ibu, sambil terlihat agak kesal.
"Aku juga kesel nih…., pada sembarangan buang sampah sih…
"Iya ya bu…., mudah-mudahan bisa jadi pelajaran deh buat yang buang sembarangan itu. Eh iya bu, terimakasih ya…kami mau bersih-bersih nih keburu magrib.
"Iya deh, sama-sama, itu kasihan yang dari tadi megangin kain pel tuh.",
Ternyata dari tadi istri sudah megang kain pel, yang biasa di jemur di depan rumah.
Kami pun segera masuk rumah lagi, terlihat air kotor itu masih tenang mendiami seluruh ruangan depan. Masih bersyukur spring bed yang sudah beberapa hari didirikan sama sekali tidak terkena air, karena memang terletak di ruang belakang yang lebih tinggi dari ruangan depan.
Sejenak kami pandang, dua ruangan tempat kami singgah dan bercengkerama. Ruang depan yang berdiri satu lemari tempat pakaian, kakinya masih digenangi air kotor itu dan ruang belakang yang merupakan tempat tidur dan sekaligus ruang dapur. Ya, tempat tidur sekaligus dapur karena ruang belakang pas jadi satu untuk spring bed dan satu buah kompor. Dan kalau mau memasak, terpaksa kami dirikan tempat tidur terindah kami itu. Di sebelah pas berjarak kurang lebih sepuluh centimeter adalah pintu kamar mandi, jadi bisa dibilang ruang belakang adalah ruang three in one ruang satu untuk tiga keperluan, mandi, masak dan tidur.
Kulihat senyum istri mengembang, entah senyum lucu, menghibur atau apa. Sebentar kubalas, dan kami mulai mengepel dua ruangan terindah itu. Hingga akhirnya sang mentari mulai beranjak menuju peraduannya memancarkan semburat kuning kemerahan berpadu menjadi warna syahdu, seakan sangat terkesan dengan kesabaran dua insan yang belum lama melangkah, menempuh hidup baru itu.
*****
Sudah dua bulan lebih aku bekerja, senang dan bangga rasanya. Sudah dua bulan itu juga kami menyimpan sesuatu dari kedua mertua, yakni gaji kecil. Dengan gaji Rp. 750.000,- kami bertahan, alhamdulillah masih ada "pesangon" dari pernikahan kemarin. Kami sengaja menyembunyikan itu, khawatir mengganggu pikiran mereka. Tentu mereka tidak akan tenang memikirkan kebutuhan kami. Namun alhamdulillah kami tetap bersabar.
Kulihat jam dinding di kantor, tepat menunjukkan tengah hari, waktunya istirahat. Aku pun bergegas menuju masjid. Kuambil HP yang dari tadi aku taruh di dalam tas, ada sms. Sambil berjalan kubuka, tertulis "Dinda", ternyata dari istri, "mas, adik kejatuhan kasur nih…", leher adik sakit, tapi sudah dik kasih minyak kayu putih nih mendingan". Kubalas, "masyaAllah dik, maaf mas baru balas, tadi taruh di tas, iya mas nanti cepat pulang ya". Hati sudah tak sabar di hari itu, terus berharap waktu akan berjalan cepat ingin segera pulang.
***
Sesampai di rumah, aku pikir istri lagi menangis kesakitan. Namun dia malah tertawa kecil.
"Lho kok malah tertawa, ? tanyaku heran.
"Iya mas, hari kita membuat sejarah baru, orang masak kok kejatuhan tempat tidur", he. Tapi ada yang menegangkan mas", tambah istriku.
"Apaan tuh dik?",
"Iya, bapak ibu tadi kesini, ngobrol ngalor ngidul, tapi ujungnya mereka nagih janji ke dik. Dulu kan dik janji waktu sebelum nikah, kalau akan kerja dulu sebelum punya anak".
Hening sesaat. Mulutku terasa kaku, diplester. Namun isi kepalaku berputar. Tak menyangka datang masalah seperti ini.
"Begitu ya dik.?
"Iya", jawabnya singkat.
"Sebenarnya, setahu mas, jika dik gak menepati janji pun itu gak akan dosa kok dik.
"Kenapa mas?", bukannya janji itu hutang?"
"Iya secara umum seperti itu. Tapi punya anak itu wajib dik, sebab itu salah satu tujuan dari menikah".
"Tapi…?".
"Iya, mas sangat paham dengan bapak dan ibu, mereka sudah membiayai kuliah dik." Sudahlah gak usah dibuat pusing dik, coba nanti mas, tanya ke teman-teman mas, atau baca di koran, lalu buat lamaran, biar bapak ibu tenang, bahwa kita sudah berusaha. Tapi tetap mas pingin kita punya momongan dulu!"
Istri hanya diam, tak menjawab. Aku juga tahu, bagaimana perasaannya.
"Ya udah, mas mandi dulu ya", pamitku memecah ketegangan.
Aku segera mengambil handuk, menuju kamar mandi, kuberharap siraman demi siraman air mampu memberikan kesejukan di kepalaku. Namun tetap saja, sehabis mandi kulihat istriku masih saja diam. Namun setelah tahu kalau aku selesai mandi dia menoleh,
"Ya sudah mas, dik juga malah jadi takut kalau kebablasan gak punya anak"
"Itulah yang mas maksud dik, toh selesai melahirkan dik kan bisa dapat kerja", hiburku.
"Iya mas, ayo kita makan, keburu basi sayurnya".
"Ayo, sahutku agak semangat.
***
Sandiwara pun dimulai, kami sering mengirim lamaran, tanya kesana-sini. Dan tak lupa jika mau mengirim lamaran tersebut, selalu mampir ke rumah mertua, alhamdulillah mereka pun senang. Padahal kita terus berharap agak istri jangan sampai mendapat panggilan kerja. Doa kami pun terkabul, tak satu pun lamaran yang membuahkan panggilan.
Hampir satu bulan, sandiwara menghibur mertua pun kami lakukan. Hingga di suatu hari, istri terkena demam tinggi, badannya panas dingin, hampir dua malam bergadang. Aku teramat khawatir. Dan pada pagi hari ketiganya, dia muntah-muntah. Tiba-tiba dalam kekhawatiranku berubah kebahagiaan,
"alhamdulillah dik, mudah-mudahan ini tanda rezeki"
"Oh iya mas, dik hamil kali ya…, tolong beli tespek mas…., tiba-tiba dik malah jadi sehat dan penasaran begini nih".
Segera kuambil langkah seribu, ingin mengetahui segera tanda-tanda kabar yang masih menggantung itu. Setelah kudapat, dites oleh istriku dan alhamdulillah hasilnya adalah positif. Betapa riangnya kami waktu itu. Entah mengapa istri mengajak ke rumah mertua, ingin memberi kabar baik katanya. Akupun menurutinya, namun di hati ada kekhawatiran kalau-kalau mertua jadi malah kecewa dengan kabar itu. Setelah sampai, langsung saja tanpa basa-basi istriku menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar itu semua Bapak Ibu mertua hanya tersenyum.
"Ya udah alhamdulillah, berarti rezekinya sudah datang," kata Ibu.
"Iya, berarti kerjanya setelah melahirkan nanti sajalah, dulu waktu Ambar lulus aku juga berdo'a biar cepat dapat rezeki., eh bener ada yang datang nglamar malahan, kelakar Bapak mertua menimpali.
Aku dan istri hanya tersenyum dan berharap semoga mereka benar-benar tak merasa kecewa.